Simbol adalah jembatan antara imajinasi dan realitas. Jika jembatan itu dibangun dengan bahan asing tanpa pondasi budaya lokal, maka akan ada yang runtuh: ingatan bersama.
Sebagai kota dengan warisan budaya yang kaya, Makassar sepatutnya merayakan identitas lokalnya dengan cara yang otentik. Simbol-simbol publik yang dibangun---apalagi berskala monumental---harus lahir dari dialog dengan sejarah dan masyarakatnya sendiri, bukan sekadar meminjam bentuk dari luar yang secara diam-diam menggeser narasi kebudayaan. Pembangunan ruang tidak boleh menjadi praktik estetik yang kehilangan konteks.
Di era visual seperti sekarang, simbol lebih cepat membentuk kesadaran daripada teks atau doktrin. Oleh karena itu, pembacaan kritis atas bentuk, patung, dan ikon yang muncul di ruang kota menjadi sangat penting. Ruang publik bukan sekadar tempat berkumpul, tapi medan di mana nilai-nilai budaya, keagamaan, dan ideologis saling berkelindan. Dalam hal ini, patung dua ikan bukan sekadar karya seni, tetapi bagian dari narasi yang patut kita tafsirkan dengan penuh kesadaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI