Mohon tunggu...
Kebijakan

Cak Imin Cawapres Jokowi, Botol Ketemu Tutup?

15 Juni 2018   14:17 Diperbarui: 15 Juni 2018   14:24 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafis diolah dari berita media oleh Penulis

Hasil survei terbaru (akhir Mei 2018) Charta Politika di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten menunjukkan elektabilitas Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masih kalah dibanding Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Anies Baswedan untuk menjadi calon wakil presiden Joko Widodo. Yang mengejutkan, namanya bahkan hilang dari 3 besar di dua provinsi besar, yakni Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Apakah ini artinya peluang Cak Imin sudah pupus?

Tentu saja tidak. Menjadi cawapres Jokowi bukan sekadar urusan popularitas. Ingat kan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono menjadi wakil pada Pilpres 2009? Bisa jadi, Jokowi malah memilih cawapres yang namanya sama sekali tak ada di lembaga survei. Chairul Tanjung, misalnya.

Popularitas boleh tertinggal sementara, namun Cak Imin punya modal kuat yang tak dimiliki kandidat lain. Dibanding Gatot, misalnya, Cak Imin kalah dalam popularitas, tetapi menang karena punya kendaraan politik bernama Partai Kebangkitan Bangsa. Dibanding AHY, Cak Imin menang dalam hal pengalaman politik, dan jangan lupa PKB adalah partai pendukung pemerintah. Adapun Partai Demokrat memilih menjadi penyeimbang. Sentimen kubu Pro Jokowi terhadap Cak Imin juga relatif lebih kecil dibanding kepada AHY.

Dari segi basis massa, Cak Imin juga lebih cocok mendampingi Jokowi dibanding Gatot. Sebab, dia lahir dan besar di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang berisi kelompok islam moderat. Adapun Gatot lebih dekat dengan kelompok garis keras yang sebagian besar sangat anti-Jokowi, anti-cina, dan mengunggulkan identitas kepribumian. Sementara basis pendukung Demokrat tak jauh beda dengan pendukung Jokowi.

Hal tersebut diamini Emrus Sihombing, Pengamat Politik dari UPH. Menurutnya, Cak Imin adalah tokoh yang bisa diterima semua kalangan muslim di Indonesia. "Saya melihat, belum ada sekelompok masyarakat, organisasi keagamaan tertentu yang memposisikan Cak Imin di posisi yg kurang menguntungkan, sebaliknya bisa merangkul semua kepentingan politik," katanya.

Satu lagi "kuncian" Cak Imin saat ini adalah, dia berperan sentral dalam pembentukan Poros Ketiga yang digadang-gadang Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Jika Jokowi tak memilihnya, misalnya, bukan tak mungkin Cak Imin akan berbalik arah ke kubu Demokrat dan PAN. Sinyalemen ini sudah terlihat dari pernyatan Cak Imin kepada media baru-baru ini.

"Banyak kiai yang membisiki kalau Pak Jokowi gak ambil saya (cawapres), para kiai menyarankan lebih baik saya capres," ujarnya, seperti diberitakan Tribunnews.com.

"Saya memaknai melihat apa yang dilakukan Pak Jokowi ibarat botol butuh tutupnya. Jadi lebih suara batin para ulama untuk menyempurnakan dari yang ada. Apalagi, di tengah persatuan dan kesatuan yang terkoyak, ancaman fundalisme dan radikalisme yang tinggi hanya kiai dan ulama yang saya ikuti," katanya lagi.

Dari kubu Demokrat, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengisyaratkan bahwa Poros Ketiga belum jua terbentuk karena Cak Imin belum pernah datang untuk berbicara bersama Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua Umum PAN.

"tiga kali sudah hampir bertemu, tidak jadi karena Cak Imin (Muhaimin) yang enggak datang. Jadi sudah disiapkan, ada Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Bang Zulkifli Hasan juga ada, dia (Cak Imin) tidak bisa," kata Hinca, seperti dilansir dari Kompas.com.

Pernyataan Ketum PAN Zulkifli Hasan juga menegaskan betapa pentingnya posisi Cak imin. "Saat ini itu cuma ada dua. Tapi kalau Cak Imin mau merapat ya jadi itu poros tiga," ujarnya.

Terkait kemungkinan Cak Imin berbalik arah tersebut, Emrus masih meragukannya. "Kompromi-kompromi politik bisa terjadi,"katanya.

Saya sendiri sepakat dengan Emrus. Jika peluang Jokowi untuk menang ternyata lebih besar, kecil kemungkinan PKB akan memilih kubu yang kalah. Alasannya, sederhana, ini politik yang salah satu tujuannya adalah kekuasaan.

Sebagai informasi, untuk mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres pada Pilpres 2019, Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu. Dengan kata lain, koalisi PAN dan Demokrat baru menghasilkan 17,78 persen. Jika ditambah suara PKB, hasilnya jadi 26,82 persen.

Kans Cak Imin juga masih terbuka lebar karena sejatinya tidak ada cawapres yang bisa mengangkat suara Jokowi. Kunci kemenangan Jokowi lebih besar ditentukan oleh tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah. Nah, saat ini, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi cukup tinggi, yakni 73,8 persen.

"Tidak ada satu pun nama cawapres yang bisa mendongkrak Jokowi jauh lebih tinggi ketika dipasangkan dengan yang lain. Karena, buat incumbent, faktor utama itu bukan siapa cawapresnya, tapi tingkat kepuasan publik tadi," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, seperti diberitakan detik.com.

Memperhatikan semua faktor di atas, posisi Cak Imin ibarat lagi lirik lagu dangdut yang kerap dinyanyikan Via Vallen, yakni "Kalah Rupo Menang Bondo". Popularitas boleh tertinggal, tapi posisi selaku Ketua Umum PKB tak bisa diabaikan. Mainkan, Cak!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun