Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dirjen, Struktural atau Kepentingan?

12 Februari 2020   19:57 Diperbarui: 12 Februari 2020   19:52 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Namun apa daya kenyataannya malah banyak menyesatkan informasi dan menguntungkan pihak-pihak tertentu di kemudian hari. Marilah kita jujur akan keadaan bahwa pergantian nama yang masif itu benar adanya.

Namun jikalau memakai alasan mengganti nama itu sama dengan menyelematkan fungsi kelenteng rasanya amat keliru, karena pada kenyataannya banyak kelenteng-kelenteng di Indonesia yang tak berganti nama namun kondisinya masih terjaga sampai saat ini. Karena sejatinya yang dilarang pada zaman Soeharto sesungguhnya ialah lebih kepada alasan administratif dan juga pengembangan kegiatan keagamaan di muka umum, ada pengawasan yang cukup ketat melalui intelejen yang ada. 

Perlu mengkaji lebih dalam jika ingin memakai alasan menyelamatkan, dan seharusnya jikapun demikian ketika keadaan sudah terbuka seperti saat ini, seharusnya sejarah itu dibuka lebar. Sejarah yang benar seharusnya segera diluruskan dan disebarkan sehingga pemikiran generasi muda tidak kacau balau akibat disinformasi menahun yang malah dikembangbiakan. 

Belum lagi menyoal tarik menarik pengakuan hari raya imlek yang dimana semua berbondong-bondong mengakuinya. Tentu semua diundang untuk merayakan kemegahan imlek yang juga sarat budaya dan tradisi, namun seharusnya tidak juga menihilkan keyakinan spiritual umat khonghucu yang penuh makna agamis didalamnya sesuai acuan kitab-kitab khonghucu yang dengan jelas menyebut hari raya tersebut beserta ritual peribadahannya. 

Terlebih banyak keanehan yang begitu mengganjal, dimana ketika orde baru semua cari aman dengan menjauhi imlek, semisal organisasi Walubi melalui surat edaran No. 18/H-008/DPP/90 dan Dirjen Bimas Hindu Buddha melalui surat edaran No. H/BA.03.1/58/1990 yang dengan terang benderang melarang perayaan imlek dan tidak menyelenggarakan perayaan terkait hari raya imlek karena hari raya tersebut bukan hari raya umat buddha. 

Namun selepas tahun 2000 Walubi malah bernafsu sekali ingin merayakan Imlek dan Cap go meh secara masif dan besar-besaran bahkan selalu dengan niatan mengundang pemimpin tertinggi negeri.

Belum lagi dengan tradisi baru seperti misa imlek di gereja-gereja yang begitu masif hingga mengubah gereja seperti kelenteng lengkap dengan sembahyang khas wewangian dupa. Teman-teman katolik yang demikian nyatanya melaksanakan ibadah seperti yang tersurat dalam Kitab Si Shu dan Wu Jing. Begitulah kiranya beberapa contoh keanehan di negeri ini.

Bukan waktu yang sebentar, 32 tahun lebih sebelum hadirnya Gus Dur Sang Pahlawan Pencetus Keadilan di Tanah Air Indonesia, orang Tionghoa pada umumnya dan umat Khonghucu pada khususnya telah bias informasi sejarahnya. Masih dirasa begitu berat juga ketika kita ingin memulai lembaran baru sejak tahun 2000, masih begitu banyak pergolakan yang dirasakan umat Khonghucu hingga saat ini.

Kembali lagi soal Dirjen, untuk kita ketahui bersama bahwasannya tak ada nomenklatur itu dalam soal pengurusan negara terhadap umat Khonghucu di Indonesia. Tarik ulur, berbelit-belit alasan keluar dari mulut para pejabat. Hingga kita harus menerima kenyataan sampai saat ini hanya ada satuan kerja setingkat eselon II yang membina umat Khonghucu, yaitu Pusat Pembinaan dan Pendidikan (Pusbindik) Konghucu. Tidak perlu kaget juga jika kenyataannya bukan orang Khonghucu yang ada di posisi tersebut, dan kami sudah terbiasa. 

Melihat sisi sejarah, tak mungkin juga ada pns khonghucu yang memulai kariernya pada era orde baru. Tahun 2000 saja KTP khonghucu 'baru mulai' ingin dipulihkan, dan sepanjang perjalanannya masih ada kendala sampai dengan tahun 2014 kebawah. Sampai sekarang di banyak instansi seperti sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya juga masih belum 100% mengakui khonghucu (biasanya jika ada checklist pilihan kolom agama, kolom lainnya akan jadi pilihan bagi kami umat khonghucu, bahkan penulis lebih sering menulis sendiri dengan huruf kapital KHONGHUCU).

Penulis juga ingin memberikan informasi dan saran kepada para pejabat berwenang bahwasannya jangan terlalu banyak menipu rakyat dengan alasan aturan dan sebagainya. Karena begitu tumpang tindih nya aturan yang ada di negeri ini yang berakhir dengan keputusan subjektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun