Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Sandiwara Radio, Inovasi Siaga Bencana dan Live Streaming Melalui Gawai

17 September 2016   23:57 Diperbarui: 18 September 2016   01:59 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar live streaming Ge FM MAdiun dalam tampilan layar Internet (dok.pri)

Zaman kekinian Masih mendengarkan siaran radio?! Memangnya masih ada ya sandiwara radio? serius ?!. Pertanyaan itu bisa saja muncul dari generasi jaman sekarang yang kurang begitu piawai mendengarkan radio. Wajar saja zaman sudah mengalami peralihan media siar dari radio , televisi, jaringan internet melalui perangkat komputer - hingga jaringan internet yang kini menyatu dalam gawai alias gadget. Pada Masa keemasan radio,  orang berkirim salam dan berkirim lagu sebagai sebuah gaya hidup. Sekarang orang cenderung menikmati aplikasi gawai yang beraneka macam jenisnya. Mulai dari SMS/MMS, Whatshapp, Line , Bigo dan sebagianya.

Eksistensi Radio sebagai media siar sekilas tampak redup. Generasi masa kini lebih familier dengan tampilan dan aplikasi yang tersaji dalam gawai yang terkoneksi jaringan internet. Data statistik dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI tahun 2014 memberi gambaran kepemilikan Radio dalam rumah tangga pada angka 27,2 % saja dibandingkan dengan kepemilikan televisi yang mencapai 87,2 %. Meskipun data tersebut tidak dilengkapi dengan kepemilikan telepon seluler, namun setidaknya ini bisa menjadi gambaran awal pada kita tentang posisi radio sebagai media siar di tengah masyarakat.

Sebuah Riset yang dilakukan oleh Voice of America siaran bahasa Indonesia tentang pola konsumsi media di Indonesia dirilis dalam https://radioclinic.com.   Dalam riset tersebut  menyebut pada tahun 2010 sebanyak 50 % penduduk Indonesia mendengarkan radio untuk mendapatkan berita. Tahun 2012 hanya menyisakan 24 % saja yang dapat dikatakan setia mendengarkan radio. Ada hal yang menarik dan kiranya perlu digarisbawahi bahwa terjadi peningkatan kebiasaan mendengarkan radio dari yang semula menggunakan pesawat radio konvensional beralih dengan menggunakan telpon selular. Tercatat sebanyak   9% pada tahun 2011. Jumlahnya meningkat  menjadi 22% pada 2012. Riset ini sendiri dilakukan secara nasional dengan melibatkan 3000 responden yang berasal dari penduduk Indonesia yang   berusia 15 tahun ke atas pada bulan Juli- Agustus 2012.

Lain data kuantitatif,  lain pula upaya kualitatif. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggandeng penulis naskah yang melegenda, S. Tijab. Tentunya  melibatkan pula  para pengisi suara yang bernaung dalam sanggar Pratiwi. Kolaborasi keduanya melahirkan inovasi bentuk sosialisasi penanggulangan dan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana melalui sandiwara radio. Dr Sutopo Purwo Nugroho selaku Humas menyebutkan bahwa BNPB ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda. Sutopo juga menambahkan bahwa sosialisasi kepada masyarakat akan lebih mudah dipahami dan diterima jika dilakukan secara informal. 

Pendekatan informal ini dilakukan melalui jalur kebudayaan atau kesenian rakyat.  Mengingat masyarakat harus paham tentang ancamanbencana. Dimana pemahaman tadi akan menjadi pengetahuan yang bisa menjadi sikap dan budaya masyarakat. Demikian salah satu alasan dasar yang dikemukakan oleh Sutopo pada saat acara Nangkring Kompasiana Bersama BNPB. Bertempat di Hotel Dafam teras Kota, Cawang - Jakarta Timur, 18 Agustus 2016.  Malam itu sekaligus sebagai launching episode pertama pemutaran sandiwara radio di 18 Radio yang tersebar di beberapa daerah di wilayah Jawa dan 2 radio komunitas yang masing-masing berada di kawasan Kelud dan Lintas Merapi.A

Saya, satu dari sekian generasi yang sempat merasakan dampak sandiwara radio yang begitu melegenda. Itu semua tidak lepas dari keberadaan kedua orang tua hingga Almarhum nenek saya yang pada masa itu seakan terhipnotis dengan jalan cerita sandiwara radio yang hanya bisa didengar tanpa ada visualisasi gambar. Siapa tak kenal Brama Kumbara, Mantili, Lasmini dalam serial Saur Sepuh?. Atau tokoh Arya Kamandanu, Meishin, dan Arya Dwi Pangga dalam Tutur Tinular?. Bahkan  orang kebanyakan ingat peris tawa menakutkan ala mak lampir atau nini pelet beserta tokoh yang bernama sembara?. Bahkan jika diminta menyanyikan lagu Brama Kumbara pun saya masih hafal di luar kepala. Ini sebagai bukti bahwa sandiwara radio memiliki sumbangsih kuat dalam menanamkan ingatan tentang sesuatu yang bersifat positif tentu.

Siapa yang tidak terkesima dengan suara-suara menyerupai ringkikan kuda, denting pedang yang seolah sedang mengambarkan suasana pertempuran. Bahkan  suara angin kencang disertai hujan pun seperti sungguhan. Saya masih ingat betul istilah teknik dan montase yang selalu disebut diakhir perkenalan pengisi suara. Hingga saat ini saya sendiri tidak tau apa dan bagaimana teknik dan montase itu sebenarnya. Tapi Kata-kata itu menjadi satu dari sekian banyak hal yang meleka dalam ingatan saya. Usia saya waktu itu masih berkisar 5 tahunan. 

Namun anak-anak di zaman itu ikut menjadi pendengar setia serial sandiwara radio. Hampir tiap rumah memutar serial sandiwara radio pada jam siar di radio kesayangan. Tidak hanya membius pendengar dengan jalan ceritanya, tapi juga membuka imajinasi layaknya virus yang mampu menembus otak untuk selalu diingat. Sandiwara radio mengalami masa keemasan.  

Beberapa dari judul sandiwara radio tersebut diangkat ke layar lebar, misalnya saja Saur Sepuh dan Tutur Tinular.  Beberapa tahun kemudian saat muncul era televisi swasta pun lagi-lagi serial sandiwara radio menjadi salah satu serial kolosal yang menjadi tontonan berseri dan tetap dinanti. Ya, tanpa kita sadari sandiwara radio telah memunculkan multi player efek di ranah industri kreatif lintas media. Baik Radio, film layar lebar maupun televisi.

Ah, lain dulu lain sekarang. BNPB akankah mampu mengulang masa keemasan sandiwara radio sebagai suatu hal yang membudaya dan mengakar dalam perlbagai lapisan masyarakat?. Sebutlah ini sebagai sebuah inovasi, maka tantangan sekaligus melihat peluang. Terlebih sebagai awalan BNPB menjadikan wilayah di Jawa sebagai pilot project. Sebanyak 50 episode sandiwara Radio yang berkisah tentang roman sejarah di wilayah mataram ini telah disiapkan. Tentu BNPB yang telah menggandeng S. Tijab memiliki strategi dalam menyisipkan pesan layanan masyarakat untuk senantiasa siaga menghadapi bencana yang bisa datang kapan saja.

Dengan Latar belakang kisah percintaan dua insan yang berbeda kasta. Antara rakyat jelata dengan pemilik darah biru. Sebut saja Raden Jatmiko seorang anak Tumenggung dan Setianingsih yang hanya anak kepala desa biasa. S. Tijab meramu cerita ini sarat akan pesan moral kesiap-siagaan terhadap bencana. Konon jalan ceritanya juga akan mengisahkan kisah tentang letusan Gunung Merapi. Ibarat kata unsur romantis  yang terpadu satu dengan unsur heroisme tatkala bencana melanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun