Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ketika Corona Memberi Pengalaman Berbeda dalam Bermaaf-Maafan Saat Lebaran

22 Mei 2020   23:21 Diperbarui: 22 Mei 2020   23:21 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejatinya bermaaf-maafan tidak harus menunggu lebaran. Membiasakan berkata maaf manakala kita melakukan secuil kesalahan menjadi budaya yang harus dilekatkan. Menjadi pribadi yang bertanggung jawab melalui kata maaf yang terlatih.

Begitupun sebaliknya, menjadi pribadi yang tulus untuk bisa memaafkan memang tidaklah mudah. Harus benar-benar dibiasakan bersikap legowo. Hadapi dengan  senyuman.Sehingga mengucap dan menerima kata maaf tak seberat memindah bongkahan batu besar di jalanan.

Saya mencoba mengingat saat saat bermaaf-maafan dalam momentum lebaran. Mulai dari mengirim kartu ucapan, melalui pesan singkat, bbm, hingga WhatsApp ataupun saat bisa hadir di acara halal bil halal. Itu semua menjadi pengalaman yang suatu saat bisa kembali diceritakan.

Andai saya ceritakan semua pengalaman bermaaf-maafan ala saya, tentu tak cukup rasanya 1500 kata. Jelas akan melebihi ketentuan dalam penulisan artikel ini bukan. Pastinya pengalaman bermaaf-maafan itu dimulai dari orang terdekat. 

Ketika saya belum menikah, maka sungkem kepada kedua orang tua menjadi yang utama. Dilanjutkan dengan saudara-saudara  Begitu saya sudah menikah, tentu saja bermaaf-maafan yang pertama adalah kepada suami, selaku imam dalam keluarga. Ya, suami-istri pastinya banyak menyimpan satu dan lain hal yang harus saling bermaaf-maafan.

Atau ketika saya harus bermaaf-maafan dengan para mantan pun menjadi pengalaman tersendiri. Khusus bermaaf-maafan dengan mantan, bukan berarti kita harus balikan ya. Justru melupakan semua rasa yang berbahan ada. Cukuplah menjadi saudara saja.

Pernah merasakan hidup berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Saya merasakan benar pengalaman bermaaf-maafan saat lebaran di beberapa daerah di luar kampung halaman saya dan suami. Sebut saja Madiun, Trenggalek, Kediri hingga Jakarta-Bekasi. Tentu saja bermaaf-maafan saat lebaran pernah pula saya lalui di Tegal dan Jember.

Ya, bermaaf-maafan saat lebaran pada umumnya adalah sama. Tradisi sungkeman antar anggota keluarga. Halal bil Halal di balai warga, lapangan hingga datang secara rombongan dari satu pintu rumah ke pintu rumah lain.

Istimewanya bermaaf-maafan saat lebaran adalah bonus aneka sajian minuman dan makanan. Bagi anak-anak, tradisi salam tempel pun menjadi bonus tersendiri.

Namun kini semua berubah. Sejak Corona mewabah hampir di semua daerah, jaga jarak -tidak bersalaman adalah sebentuk upaya untuk mencegah. Mata rantai Korona jangan sampai meluas dari tiap aktifitas perpindahan melalui sentuhan tangan atau bagian tubuh lainnya.

Inilah sebentuk pengalaman bermaaf-maafan yang kelak akan banyak dikenang. Ketika mulut tertutup masker, tak banyak kata bisa terucap. Ketika tangan tak lagi bisa menjabat. Hingga peluk hangat pun tak boleh dilakukan agar semua tetap sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun