Mohon tunggu...
Tamisya Wita Putri
Tamisya Wita Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang memiliki minat di bidang Graphic Design

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meningkatkan Pengelolaan Sampah Kampus Melalui Peran Mesin Pintar dalam Mengomunikasikan Solusi Pembuangan Plastik

13 Oktober 2025   01:32 Diperbarui: 13 Oktober 2025   01:30 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Di tengah pesatnya laju perkembangan teknologi, industrialisasi, dan pertumbuhan penduduk perkembangan ini telah membawa manusia pada era yang serba praktis, yaitu adanya penggunaan bahan plastik. Penggunaan plastik dan berbagai produk berbahan plastik kini semakin meluas. Bagaimana tidak, di setiap aspek kehidupan manusia, plastik banyak digunakan karena sifatnya yang praktis. Namun, di balik manfaatnya ini, penggunaan plastik dalam kehidupan manusia memiliki dampak besar yang harus ditanggung oleh bumi kita. Sampah plastik yang kita buang setiap hari tidak hilang begitu saja, melainkan tetap ada menumpuk, dan perlahan-lahan mencemari lingkungan alam tempat kita tinggal. Karena plastik dikenal sebagai bahan yang sangat sulit terurai secara alami (non-biodegradable), dengan estimasi waktu penguraian mencapai ratusan tahun (Sirait, Alexander, dan Silaban, 2023).

Disisi lain, hasil berbagai penelitian data menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbanyak di dunia dengan 187,2 juta ton, tepat di bawah Cina yang menduduki posisi pertama dengan 262,9 juta ton (Sukma, 2023). Setiap tahunnya, diperkirakan sekitar 3,2 juta ton limbah plastik mengalir ke lautan, mencemari ekosistem dan mengancam keberlangsungan kehidupan di dalamnya (Warlina, 2019).

Masalah sampah plastik sebenarnya tidak hanya sebatas membahas tentang bagaimana cara menjaga kebersihan, tetapi juga soal bagaimana komunikasi dan kesadaran itu benar-benar dapat diimplementasikan dengan baik oleh para manusia. Manusia saat ini sudah terbiasa memilih cara yang cepat dan praktis, meski tahu ada harga yang harus dibayar. Itulah mengapa tiap kali kita menggunakan plastik sekali pakai di kehidupan kita sehari-hari, sebetulnya kita sedang menukar kemudahan itu dengan kerusakan jangka panjang bagi bumi. Ironisnya, di lingkungan kampus yang seharusnya penuh ilmu dan kesadaran lingkungan, pola pikir membuang sampah sembarangan ini masih sering ditemukan. Sebenarnya mahasiswa tahu tentang bahaya plastik, tapi tidak semua orang memiliki kesadaran merasa perlu bertindak. Antara hanya tahu dan peduli lingkungan, jaraknya masih cukup jauh.

Masalah sampah plastik ini ternyata tidak hanya terjadi di ruang publik atau permukiman, tetapi juga di lingkungan kampus, yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa menuntut pendidikan, justru masih sering terlihat dipenuhi tumpukan gelas plastik kopi, sedotan, dan bungkus makanan instan. Hal ini seakan memperlihatkan bahwa pengetahuan belum tentu sejalan dengan kesadaran. Padahal, pendidikan tinggi diharapkan peka terhadap lingkungan. Jika di lingkungan yang penuh ilmu pengetahuan saja kesadaran lingkungan masih rendah, lalu bagaimana dengan masyarakat luas yang belum mendapatkan akses pendidikan serupa?

Kita sering lupa, sampah yang dibuang tidak benar-benar hilang. Sampah ini akan terus mengalir bersama air hujan ke sungai, terseret ke laut jika tidak dikelola dengan benar, atau bahkan akan dikonsumsi oleh ikan yang akan kita konsumsi juga. Siklus yang sangat menyedihkan bagi kita sebagai makhluk yang tinggal di bumi. Di titik ini, seharusnya kampus tidak hanya bicara tentang teori lingkungan, melainkan juga tentang tanggung jawab moral terhadap alam. Karena menjaga bumi tidak hanya sekadar tentang kebersihan yang terlihat saja, tapi bagaimana kesadaran batin bahwa setiap tindakan kecil memiliki dampak yang besar. Kalau bukan dari lingkungan kampus kesadaran itu tumbuh, lalu dari mana lagi kita bisa berharap perubahan dimulai?

Namun, perubahan yang berkelanjutan tidak cukup hanya mengandalkan teknologi semata. Kita juga perlu menoleh ke akar budaya bangsa yang sejak dulu mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam. Nilai-nilai seperti gotong royong, hidup sederhana, serta prinsip harmoni dalam falsafah Tri Hita Karana adalah warisan moral yang bisa menjadi fondasi komunikasi lingkungan yang lebih bermakna. Ketika pesan pelestarian alam disampaikan melalui bahasa budaya yang sudah akrab di masyarakat, ia tidak hanya diterima oleh pikiran, tetapi juga oleh hati.

Tinjauan Konsep

Cox (2013) menyebut komunikasi lingkungan sebagai proses simbolik yang membentuk cara manusia memahami hubungannya dengan alam. Artinya, perubahan perilaku tidak bisa terjadi hanya lewat aturan atau himbauan satu arah. Melainkan harus melalui proses komunikasi dan dialog publik yang memiliki nilai agar dapat menimbulkan rasa tanggung jawab bersama. Teori komunikasi lingkungan lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Oepen (1999), berfokus pada penggunaan strategi komunikasi dan produk media untuk meningkatkan efektivitas pembuatan kebijakan, partisipasi publik, dan implementasi kebijakan lingkungan. Teori ini muncul dari kebutuhan untuk mengatasi tantangan lingkungan melalui pendekatan komunikasi yang efektif. Oepen, seorang ahli dalam komunikasi lingkungan, mengembangkan teori ini pada akhir 1990-an dengan tujuan untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan ilmiah dan tindakan publik dalam konteks lingkungan.

Dalam permasalahan ini, teori komunikasi lingkungan dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini melalui beberapa cara. Pertama, strategi komunikasi dapat dirancang untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan staf tentang dampak negatif sampah plastik. Kedua, perlu adanya produk media sosial yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan solusi praktis, seperti penggunaan botol minum yang dapat diisi ulang dan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Ketiga, partisipasi publik dapat ditingkatkan melalui inisiatif kampus seperti program daur ulang yang melibatkan mahasiswa dan staf dalam pengelolaan sampah plastik.

Teori ini relevan karena memiliki kerangka kerja untuk memahami dan mengatasi masalah lingkungan melalui komunikasi yang efektif. Dengan menerapkan teori ini, kampus dapat mengembangkan kebijakan yang lebih baik dan meningkatkan partisipasi masyarakat kampus dalam upaya pengelolaan sampah plastik.

Analisis Kasus

Saat ini sangat disayangkan banyak kampanye kebersihan lingkungan di kampus yang hanya bersifat seremonial saja. Seperti poster, seminar, dan slogan "Go Green" mudah ditemukan, tetapi setelah acara itu, perilaku manusia kembali seperti biasa. Di sinilah masalahnya, bagaimana menjaga lingkungan akademik agar tetap bersih melalui komunikasi lingkungan, agar pesan tidak berhenti menempel di mading kampus saja, tetapi harus sampai benar-benar menghasilkan tindakan.

Kesadaran lingkungan tidak akan tumbuh jika hanya dengan menempelkan slogan atau menyebar ajakan di media sosial. Dibutuhkan strategi komunikasi yang efektif yang  lebih dari sekadar menyampaikan pesan, yaitu komunikasi yang mampu menggerakkan, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama. Selain itu, hal ini diakibatkan karena kurangnya regulasi dari kampus tentang kebersihan lingkungan, lemahnya kebijakan lingkungan di kampus dilihat dari banyaknya universitas yang belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang jelas. Tempat sampah terpisah antara organik dan anorganik sering kali hanya sebagai formalitas semata.

Kesimpulan & Saran

Kampus perlu membangun sistem yang konsisten mulai dari kebijakan pengurangan plastik, fasilitas yang dapat mendaur ulang sampah, hingga penerapan konsep zero waste dalam setiap kegiatan akademik. Di beberapa negara, konsep ini sudah berjalan dengan baik. Universitas di Jepang, misalnya, menerapkan prinsip zero waste campus, di mana setiap mahasiswa wajib memilah sampah dan bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya. Beberapa kampus di Eropa bahkan memberlakukan denda bagi penggunaan plastik sekali pakai dan mengganti seluruh bahan promosi dengan media digital. Pendekatan seperti ini tegas, tapi berhasil menumbuhkan budaya baru yang lebih bertanggung jawab.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan membuat inovasi yang mudah dilakukan oleh mahasiswa. Misalnya, melalui mesin pintar yang dapat menukar sampah menjadi nilai tukar uang, atau sebuah alat yang memungkinkan setiap orang menukarkan botol plastik bekas menjadi uang atau saldo digital. Inovasi ini mungkin kedengarannya sulit diimplementasikan, namun cukup sederhana jika dilakukan secara berkala. Teknologi seperti ini tidak hanya membantu mengurangi tumpukan sampah plastik, karena diharapkan juga dapat menanamkan kebiasaan baru yaitu bahwa setiap tindakan kecil punya nilai dan dampak bagi bumi. Melalui pendekatan ini kita bisa menyatukan edukasi, teknologi, dan motivasi ekonomi dalam satu kesatuan yang relevan dengan gaya hidup generasi muda.

Krisis sampah plastik sejatinya bukan sekadar masalah lingkungan, tapi juga cermin dari krisis kesadaran manusia. Kita terlalu lama menganggap bumi akan selalu mampu menampung sisa-sisa kehidupan kita tanpa batas. Padahal, bumi sedang lelah, dan tanda-tandanya sudah jelas: sungai yang kotor, laut yang penuh plastik, udara yang tercemar. Jika generasi muda yang tumbuh di tengah dunia pendidikan tidak mulai bergerak sekarang, maka yang akan mereka warisi bukan lagi masa depan, melainkan masalah sampah plastik yang terus berkelanjutan..

Maka saran yang dapat diterapkan oleh setidaknya di beberapa universitas di Indonesia adalah: Kampus perlu merancang dan menerapkan program inovatif melalui teknologi yang lebih interaktif dan edukatif untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Diperlukan kolaborasi antara pihak kampus dan organisasi mahasiswa untuk menciptakan inisiatif yang mendorong partisipasi aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan kampus. 

Daftar Pustaka

Warlina, L. (2019). Pengelolaan sampah plastik untuk mitigasi bencana lingkungan. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 89-108.

Cox, R. (2013). Environmental Communication and the Public Sphere. Sage Publications.

Hansen, A., & Machin, D. (2013). Media and Communication Research Methods: An Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches. Palgrave Macmillan.

Moser, S. C., & Dilling, L. (2007). Creating a Climate for Change: Communicating Climate Change and Facilitating Social Change. Cambridge University Press.

Oepen, M. (1999). Communicating the Environment: Environmental Communication for Sustainable Development. Peter Lang.

Sirait, G., Alexander, I. J., Purba, M. U. M., Siahaan, K. L., & Miranda, X. S. (2025). Analisis Pemahaman Mahasiswa Terhadap Pengendalian Sampah Plastik Di Perguruan Tinggi. Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat, 10(1), 309--324.

Sukarna, D. R. A. (2022). Peran 4ocean Dalam Menangani Krisis Sampah Plastik Di Laut Indonesia Periode 2015--2020. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Warlina, L. (2019). Pengelolaan sampah plastik untuk mitigasi bencana lingkungan. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 89--108.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun