1. Tanah Kecil, Luka Besar
Di sebuah desa yang hanya jadi catatan kaki dalam dokumen pemerintah, lahirlah seorang anak bernama Dirman. Ia bukan siapa-siapa. Tak ada garis keturunan penting, tak ada peta masa depan yang tergelar di depannya. Tapi ia tumbuh dengan mata yang tak bisa diajak kompromi: melihat kemiskinan sebagai luka, bukan kebiasaan.
"Kenapa desa kita tetap begini?" tanya Dirman suatu malam kepada ayahnya, nelayan tua yang pulang dengan tangan kosong.
Ayahnya hanya tersenyum kecil. "Karena kita terbiasa diam."
Jawaban itu menancap. Sejak hari itu, Dirman memutuskan satu hal: ia tak akan diam. Dan ia tak akan lupa.
2. Pergi untuk Kembali
Dengan bantuan beasiswa dan sumbangan dari ibu-ibu kampung, Dirman pergi ke kota untuk kuliah. Ia belajar keras. Tapi ia tahu: pengetahuan bukan sekadar nilai di ijazah, tapi arah untuk berpihak.
Di kota, ia masuk organisasi mahasiswa. Ia membaca sejarah yang tak pernah diajarkan di sekolah. Ia berdiri di tengah jalan, berseru di bawah panas dan gas air mata. Ia menyusun tulisan-tulisan tajam yang membongkar kebijakan zalim. Ia tahu: kota ini penuh ilusi, dan banyak anak desa tenggelam di dalamnya.
Tapi Dirman berbeda. Ia tidak datang ke kota untuk melupakan desa. Ia datang untuk melawan lupa itu sendiri.
3. Pulang: Bukan Kalah, Tapi Memulai
Setelah lulus, Dirman pulang. Teman-temannya mengira ia gila. "Ngapain balik? Di kota bisa kerja, bisa kaya!"
Tapi Dirman tak butuh kemewahan yang menjauhkan dari akar. Ia mendirikan taman baca di bekas kandang kambing. Ia ajari anak-anak cara berpikir, bukan hanya menghafal. Ia kumpulkan pemuda untuk membangun koperasi nelayan. Ia tantang kepala desa yang main proyek dan tak paham satu pun pasal soal keadilan sosial.
"Aku bukan pahlawan," katanya, "Aku cuma orang yang menolak desa ini terus ditipu oleh mereka yang mengaku peduli."
4. Menyalakan yang Pernah Padam
Malam itu, dalam forum pemuda, Dirman berdiri. Di depannya, ada aparat, ada pejabat, dan ada wajah-wajah yang dulu meremehkannya.
Lalu ia berkata:
"Kalian selalu datang ke desa kami saat butuh suara. Tapi dengarkan ini baik-baik: mulai hari ini, kami tidak akan diam. Kami adalah generasi yang membaca. Yang berpikir. Dan yang tidak takut kalian sebut radikal. Karena bagi kami, radikal itu bukan merusak --- tapi mengakar. Dan kami telah mengakar."
Hening.
Tapi dari keheningan itu, lahir sesuatu yang lama hilang: harapan yang melawan.
Penutup: Dirman Adalah Tanda
Dirman bukan legenda. Ia bukan utusan langit. Ia hanya seorang anak desa yang menolak tunduk. Tapi lewat keberaniannya, banyak yang mulai bangkit. Banyak yang mulai membaca kembali arti "pulang".
Karena pulang bukan soal tempat, tapi soal tanggung jawab. Dan api yang pulang, akan lebih membakar daripada mereka yang pergi dan lupa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI