Tapi Dirman tak butuh kemewahan yang menjauhkan dari akar. Ia mendirikan taman baca di bekas kandang kambing. Ia ajari anak-anak cara berpikir, bukan hanya menghafal. Ia kumpulkan pemuda untuk membangun koperasi nelayan. Ia tantang kepala desa yang main proyek dan tak paham satu pun pasal soal keadilan sosial.
"Aku bukan pahlawan," katanya, "Aku cuma orang yang menolak desa ini terus ditipu oleh mereka yang mengaku peduli."
4. Menyalakan yang Pernah Padam
Malam itu, dalam forum pemuda, Dirman berdiri. Di depannya, ada aparat, ada pejabat, dan ada wajah-wajah yang dulu meremehkannya.
Lalu ia berkata:
"Kalian selalu datang ke desa kami saat butuh suara. Tapi dengarkan ini baik-baik: mulai hari ini, kami tidak akan diam. Kami adalah generasi yang membaca. Yang berpikir. Dan yang tidak takut kalian sebut radikal. Karena bagi kami, radikal itu bukan merusak --- tapi mengakar. Dan kami telah mengakar."
Hening.
Tapi dari keheningan itu, lahir sesuatu yang lama hilang: harapan yang melawan.
Penutup: Dirman Adalah Tanda
Dirman bukan legenda. Ia bukan utusan langit. Ia hanya seorang anak desa yang menolak tunduk. Tapi lewat keberaniannya, banyak yang mulai bangkit. Banyak yang mulai membaca kembali arti "pulang".
Karena pulang bukan soal tempat, tapi soal tanggung jawab. Dan api yang pulang, akan lebih membakar daripada mereka yang pergi dan lupa.