Mohon tunggu...
Tamara Aulia
Tamara Aulia Mohon Tunggu... Former Criminal Law and National Desk News Reporter at Tempo.co

Deeply committed to advocating for women's issues, engaging in political discourse, and exploring opportunities in financial investment.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Dunia Butuh Perempuan Muda yang Berani Marah?

22 Juni 2025   03:00 Diperbarui: 11 Agustus 2025   18:34 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seruan masyarakat Amerika Serikat yang turun ke jalan dalam aksi protesnya terhadap kebijakan Presiden Trump (Sumber: Tik Tok Caden Willis)

KOMPASIANA.COM – Tagar "The World Needs More Young Women" belakangan ramai digunakan di media sosial. Meski awalnya tampak seperti slogan inspiratif, frasa ini berkembang menjadi ajakan yang lebih serius, mendengarkan dan memberi ruang bagi suara perempuan muda yang selama ini sering terpinggirkan.

Perempuan muda kini tak lagi hanya terlibat dalam gerakan sosial. Mereka memimpin, mengarahkan, dan mendorong perubahan di banyak sektor, baik di ruang kelas pendidikan, forum publik, dunia digital, hingga komunitas kecil para perempuan muda.

Gerakan ini tidak sedang mengidealkan anak muda. Tapi menunjukkan bahwa banyak dari mereka melihat ketimpangan yang ada dan berani bertanya, mengapa dunia terus berjalan seperti ini?

Perempuan Tidak Pernah Diajarkan untuk Marah
Sejak dini, khususnya dalam budaya Asia, banyak perempuan tumbuh dengan norma yang menekankan kelembutan dan kesopanan. Ketika mereka menyuarakan ketidaksetujuan atau menunjukkan keberanian melawan ketidakadilan, mereka kerap dianggap terlalu emosional atau sulit diatur. Padahal, dalam banyak konteks, marah adalah reaksi yang wajar. Bahkan perlu. Marah bukan berarti pemberontak. Dalam banyak kasus, marah justru merupakan ekspresi dari kepedulian dan tanggung jawab. Bila diarahkan dengan pemahaman yang baik, kemarahan bisa menjadi pendorong perubahan.

Teruntuk Perempuan Muda, Jangan Pernah Diam
Berdasarkan laporan WHO, satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya. Di bidang ekonomi, kesenjangan penghasilan masih terjadi. Di Amerika Serikat, perempuan memperoleh 82 sen untuk setiap dolar yang diterima laki-laki. Angka ini lebih rendah lagi pada perempuan kulit berwarna. Dalam politik, perempuan masih merupakan minoritas. Data Inter Parliamentary Union 2023 menyebut hanya 26 persen anggota parlemen nasional di seluruh dunia adalah perempuan. Di ruang digital, perempuan muda juga menghadapi tekanan yang tidak ringan. Pelecehan, ancaman, dan upaya pembungkaman kerap dialami mereka yang berani berbicara lantang. Dengan kondisi seperti ini, marah bukanlah sikap berlebihan. Ia justru menjadi bentuk kesadaran bahwa sistem yang ada belum adil.

Catatan Sejarah Perempuan Dunia yang Berani untuk Bersuara
Sejarah mencatat peran penting perempuan muda dalam perubahan sosial. Claudette Colvin, pada usia 15 tahun, menolak memberikan tempat duduknya di bus umum di Alabama. Peristiwa itu terjadi sebelum Rosa Parks melakukan hal serupa. Emma Gonzalez, penyintas penembakan di sekolah Parkland, Amerika Serikat, menyampaikan pidato terbuka yang mendorong gerakan nasional menentang kekerasan senjata. Greta Thunberg memulai aksi mogok sekolah pada usia 15 tahun untuk menyoroti krisis iklim. Ia menyampaikan pesan yang sederhana, namun tegas. Dan dunia justru mendengarnya. Tentu saja, Kemarahan mereka bukan tanpa arah. Namun berangkat dari dorongan diri karena sadars selalu diperlakukan tidak setara dan untuk memperbaiki keadaan hidupnya.

Ketika Perempuan Bersuara, Dengarkan
Respons terhadap perempuan yang marah sering kali masih negatif. Mereka diminta tenang, diredam, bahkan dianggap mengganggu ketertiban. Hal itu berisiko memperparah ketimpangan yang ada. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah ruang untuk perempuan muda dapat menyampaikan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Bila diberi kesempatan, kemarahan itu bisa melahirkan gerakan, karya, dan kepemimpinan.

Mari Mulai Berani untuk Bersuara
Tidak semua suara harus dilakukan dalam bentuk demo yang turun ke jalan. Ada sebagain suara bisa disampaikan melalui menulis. disisi lain suara juga dapat disalurkan dengan membangun komunitas. Bahkan bila diperlukan, berani bersuaralah dengan memperbaiki sistem dari dalam yang dapat berakhir membuat kebijakan. Pada intinya, semua perempuan muda berhak untuk marah dan menyuarakannya. Semakin banyak perempuan muda yang memahami hal itu, semakin besar peluang lahirnya perubahan yang nyata. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak keheningan. Dunia butuh lebih banyak perempuan muda yang bersedia berkata, “Tidak, saya tidak terima diperlakukan seperti ini,”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun