Dunia bilang cantik, padahal aku sedang menanggung musim yang jatuh di rambut.
Rindu tak bisa naik pesawat, dan cinta menjelma jadi ruang tamu kancil---puisi ini menggugat logika waktu, tubuh, dan segala yang disebut sayang.
Maka ketika kita mengizinkan Allah tinggal dalam bait hati kita, kita tidak hanya kembali ke sumber kekekalan
Di ujung jurang, matahari pun lupa ia api. Aku berdiri... menyebut namamu yang tak menjawab.
Sebuah fragmen luka dan absurditas yang dimuntahkan dari kepala penuh semut.
Apakah tubuh kita hanya wadah? Ataukah ia medan pertempuran antara hasrat, kenangan, dan waktu yang tak terungkapkan? Bagaimana metafora tanpa tubuh?
"Minggu ini kita mau kemana nih?" Ujar Amisha dengan hangat."Nggak ke mana-mana," jawabku dingin."Yah, padahal Minggu ini ada festival di Summarecon"
Di halaman pertama cinta, aku cuma harga diskon di struk belanja yang kau lupakan.
Puisi tentang hening yang terlalu gaduh, tentang gelap yang tak lagi dicela, dan tentang semut yang mencium luka sebelum hilang
Aku rebah di jurang yang kau ciptakan dari mataku sendiri.
Dua zarah cahaya berdansa di ambang kehampaan, saat semesta belajar melupakan dirinya.
Cinta yang gugur sebelum turun ke bumi.
Sebuah puisi tentang luka yang lahir dari nama, dan absurditas waktu yang tak pernah selesai.
Pernahkah kamu merasa dipenuhi oleh sesuatu yang tak tampak, namun begitu menguasai setiap lekuk tubuh dan pikiranmu?
Ibu pulang, tapi kenangan yang datang lebih dulu.
Ketika keinginan bukan lagi milik siapa pun—selain ledakan itu sendiri.
AI, betapapun canggihnya, bekerja dengan premis dan data yang diberikan oleh manusia. Ia tidak memiliki kesadaran. Ia tidak memiliki niat.
Puisi ini bukan untuk menenangkan. Ini untuk mereka yang berdarah dan masih memilih berdiri. Jangan jinakkan amarah suci.
Puisi ini bukan untuk dimengerti. Karena seekor dada tak bisa dipahami, hanya bisa didengar detaknya.
Laut yang tak berpantai menyimpan nama yang tak pernah terucap, hanya mengalun dalam kesepian.