Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan (Hanya) Menjadi Guru

29 November 2021   21:00 Diperbarui: 29 November 2021   21:02 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Tabrani Yunis

Sudah lama ingin menulis tentang proses perjalanan belajar menjadi aktivis, namun entah apa yang menyebabkan keinginan itu terus tertunda-tunda hingga terpendam dalam sebuah judul saja. 

Untunglah ketika  ide untuk menulis tentang perjalanan hidup sebagai aktivis tersebut sudah tersimpan di file dan bisa dibuka lagi ketika muncul keinginan menulis.

Ya, sering kali mood untuk menulis itu hilang dan menyebabkan produktivitas menulis juga menurun. Sehingga harus mencari moment yang tepat dan menyenangkan.

Nah, bercerita tentang perjalan hidup yang melakoni kegiatan sebagai aktivis, penulis teringat akan ungkapan yang sangat lazim terdengar yang bukan saja semasa dewasa, tetapi juga sejak kecil. 

Ungkapan yang mengingatkan kita akan makna diri, kemampuan dan otoritas kita yang sangat terbatas. Ya, ungkapan tersebut adalah,  " Langkah, rezeki, pertemuan dan maut adalah rahasia dan otoritas Tuhan, Allah Swt".

Tentu semua orang bisa memaknainya. Kita pasti paham bahwa " Semua yang ada di alam semesta dan segala isinya, termasuk segalanya tentang diri kota dan hidup kita sebagai manusia. Semua diatur oleh Sang Maha Pencipta" Sungguh tiada daya dan upaya bagi kita untuk menyingkap rahasia Allah tersebut.  

Yang pasti,tidak satu orang manusia pun yang tahu, hanya Allah. Oleh sebab itu, kita juga tidak pernah tahu seperti apa masa depan kita. Kita bisa saja punya cita-cita ingin menjadi ini atau itu, namun belum tentu apa yang dicita-citakan itu akan tercapai. 

Bisa saja yang kita cita-citakan itu A, yang terjadi adalah B,C, D atau lainnya. Kita hanya bisa berencana dan berusaha, keputusannya ada dalam kuasa Allah. 

Maka, dalam kehidupan kita, langkah dan perjalanan hidup hidup kita akan berbeda-beda. Lika-liku dan dinamikanya berbeda. Itu pulalah yang penulis alami.

Penulis secara sah menjadi guru pada tahun 1985 setelah mendapat SK pengangkatan sebagai guru dengan status CPNS. Menjadi guru setelah menempuh pendidikan di sekolah pendidikan guru (SPG) setingkat SMA, dan melanjutkan ke program Diploma 2 tahun. Langsung diangkat menjadi guru terhitung 1 Desember 1984, mengajar mata pelajaran atau bidang studi Bahasa Inggris, karena selama 2 tahun belajar di program Diploma 2 bahasa Inggris. Mau tak mau, menjadi guru adalah takdir, karena sesungguhnya  setamat SMP penulis tidak mau bersekolah di SPG atau sekolah pendidikan guru yang setamat dari sekolah itu bisa menjadi guru.  

Yang menjadi impian penulis adalah ingin menjadi seorang tenaga penyuluh pertanian atau sarjana pertanian. Namun nasib berkata lain, pucuk dicinta, ulam tiba. Ternyata, cita-cita atau keinginan itu tinggal hanya menjadi cita-cita masa kecil, karena langkah kaki berubah ke ranah yang tidak menjadi kesukaan atau yang diimpikan, yakni ranah pendidikan, menjadi calon guru. Walau sekali lagi, menjadi calon guru bukanlah sebuah pilihan, menjadi sebuah keterpaksaan dan tidak ingin menjadi guru, akhirnya guru menjadi profesi yang harus dijalani dan diperankan hingga kini.

Untungnya penulis tidak termasuk dalam golongan orang yang suka terbenam di satu bidang atau satu aktivitas saja, bergelut di kelas sebagai seorang guru. Penulis tidak suka hanya menjalankan peran sebagai guru yang tidak mau repot dengan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan guru.

Penulis sadar bahwa sebagai manusia yang wajib belajar,penulis melakukan banyak aktivitas di luar jalur profesi sebagai guru. Maka di awal masa diangkat menjadi guru, penulis memulai kegiatan dengan kegiatan menulis. Memulai kegiatan mengirimkan tulisan ke media cetak yang terbit daerah. 

Setelah tulisan pertama di bulan Juli 1989 dimuat, penulis semakin terdorong atau termotivasi untuk menulis. Pokoknya, kegiatan menulis menjadi semakin disukai setelah adanya media massa yang menampung tulisan untuk dipublikasikan, yakni surat kabar.

Ya, kala itu, sebuah media cetak, Serambi Indonesia terbit di tahun 1989 dan penulis pun memulai aktivitas menulis di media cetak yang kegiatan itu hingga kini masih menjadi kebutuhan hidup penulis.

Selain melakoni dan mengisi kegiatan sehari-hari dengan aktivitas mengajar dan juga menulis, muncul keinginan dan kemauan untuk bisa bekerja atau beraktivitas di bidang sosial dengan bergabung di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 

Saat itu bersama teman yang sudah punya pengalaman ber-LSM, penulis mulai ikut mendirikan LSM yang penulis sendiri ikut menjadi pendiri dan pelaksana di lembaga pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia (LP2SM) yang kala itu berkantor di Hotel Aceh, pavilion 15, berhadapan dengan Geunta Plaza saat itu.

Di Lembaga itu penulis mulai belajar tentang LSM dan mengasah idealisme, bekerja untuk masyarakat miskin di desa-desa, tanpa berharap ada gaji. Yang penting bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan diri (self development) lewat berbagai proses dan kegiatan. Kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat kelas bawah. Pekerjaan yang kerap disebut sebagai pegiat sosial atau aktivis sosial.

Ya aktivis. Tentu sudah sangat sering kita mendengar sebutan ini. Sebutan yang ditambalkan kepada seseorang yang sehari-hari atau dalam hidupnya aktif dalam sebuah kegiatan atau di sebuah organisasi.

Bagi penulis sendiri saat itu tidak begitu memahami arti dari kata aktivis itu, juga tidak menyangka bahwa aktivitas itu adalah aktivitas para aktivis. 

Maka, sejalan dengan perjalanan waktu, kata aktivis itu pun semakin mengkristal Namun kata aktivis itu bisa kita dapatkan dalam kamus besar bahasa Indonesia. 

Nah, di kamus  bahasa Indonesia dijelaskan atau dijabarkan sebagai berikut. ak*ti*vis n 1 orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya; 2 Pol seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya.

Kiranya tidak terlalu penting untuk dibahas makna aktivis tersebut. Yang jelas, sejak tahun 1990 sudah mulai melibatkan diri dalam kerja-kerja pendampingan masyarakat di desa-desa. Lalu bermetamorfosis dan bertambah ilmu, ketrampilan dan pengalaman. Sebab, selama ber-LSM, banyak sekali kesempatan belajar bersama teman-teman aktivis yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia LSM ini.

Apa yang menarik ketika ikut terlibat dalam dunia LSM adalah terpatrinya keinginan dan bahkan kemauan untuk terus belajar, membangun sikap peduli, sikap kritis dan merasa militan untuk terus membangun kapasitas masyarakat lewat berbagai kegiatan edukasi, seperti diskusi, pelatihan dan berbagai macam pertemuan seperti lokakarya, seminar dan sebagainya.

Maka, tak pelak lagi kalau selama terjun di dunia LSM tersebut sikap peduli, kemauan belajar, bersikap kritis, kreatif dan inovatif adalah hasil yang diperoleh untuk membangun kehidupan yang lebih bermakna dan berguna. 

Sudah sangat banyak kegiatan diskusi, seminar, dan kegiatan pendidikan lainnya, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional yang memperkaya khasanah pengetahun didapat. Bukan hanya itu, banyak teman yang sevisi bertemu dan berbagi.

Lalu bagaimana dengan aktivitas sebagai guru? Tentu saja pekerjaan yang sudah dimiliki tersebut tidak perlu ditinggalkan. Apalagi setelah belajar banyak di dunia LSM, banyak metodologi pembelajaran yang didapatkan dan sangat membantu penulis mengembangkan Model pembelajaran yang berbeda dibandingkan dengan guru-guru lain. 

Penulis sebagai guru bahasa Inggris berani membuat Model pembelajaran bahasa Inggris yang menarik dan menghibur. Penulis memerankan diri sebagai guru yang entertainer. Mengajar dengan cara merdeka dan membuat para siswa ikut termotivasi belajar dan bertahan hingga pada jam-jam genting.

Nah, bagi penulis, sejak awal tidak ingin atau mau hanya menjadi guru, tetapi harus bisa menjadi guru yang merdeka dan menjadi guru yang pembelajar. 

Oleh seban itu, prinsip hidup adalah jangan hanya menjadi guru yang berkutat di depan kelas, tetapi jadilah guru yang bisa multitalented. Bukan hanya guru yang specialist, tetapi guru yang generalist.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun