Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menganyam Daun Rumbia Sejak Masa PKI Hingga Kini

22 Juni 2018   14:46 Diperbarui: 22 Juni 2018   20:02 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak menikah pada masa zaman PKI sudah mulai mengayam atap rumbia. Begitu ungkap Bu Basyariah, 70 tahun sambil tangannya terus menganyam atap rumbia di bawah kolong rumahnya yang terbuat dari papan itu. Bu Basyariah dengan suaminya Yahya yang lebih dikenal dengan sebutan Yah Tok, setiap hari mengayam atap rumbia untuk membiayai hidupnya sehari-hari. 

Katanya, dalam sehari ia dan suaminya bisa membuat sekitar 20- 25 bingkai atap rumbia itu. Harga sebingkai atap dihargai hanya Rp 2.000,-. Ya, hanya dua ribu rupiah. Harga yang tidak sebanding dengan sulitnya mencari bahan dan lainnya.

Untunglah untuk mendapatkan daun rumbia, tidak jauh dari rumah kediaman mereka yang bisa mereka ambil secara gratis dari pohon rumbia yang dimiliki orang lain, karena pemilik lahan tidak menggunakan daun rumbia itu.

Nah, bisa dibayangkan, kalau dalam satu hari mereka bisa membuat sekitar 20 hingga 25 bingkai atap rumbia itu, berarti dalam sehari mereka hanya bisa menghasilkan rupiah sebanyak Rp 40.000 sampai dengan Rp 50.000,-. Itu belum termasuk biaya untuk membeli bambu dan tali rotan.

Jadi, berapa mereka bisa mendapatkan keuntungan, bila kita melihatnya dari kaca mata bisnis? Tentu saja tidak memiliki prospek yang cerah, bukan? Tentu saja tidak.

Bahkan lebih menyedihkan lagi, rupanya, walau dalam satu hari mereka bisa membuat 20-25 atap rumbia,  bukan berarti mereka bisa mendapatkan langsung uang dalam hari itu.

Untuk menjual hasi kerjanya yang hanya 20-25 bingkai itu, ternyata tidak bisa menghasilkan uang langsung setelah mereka menyelesaikan semua itu. 

Mereka harus keringkan dahulu sampai beberapa hari. Setelah kering, maka atap-atap rumbia itu diikat lagi dalam paket 100 buah. Setelah itu baru dijual. Biasanya pembeli yang datang ke tempat mereka untuk membeli atap dengan harga yang begitu murah. Ya, apa mau dikata, tidak ada pilihan lain.

Begitu sulit jalan yang dilalui. Ditambah lagi, untuk menjualnya, harus lewat agen yang mencari atap rumbia itu.Pembelinya yang lazim datang adalah para agen yang datang bila jumlah atap sudah ada beberapa paket. Berarti tidak bisa diperoleh uang setiap hari, tetapi tergantung kapan agen atap datang mengambil atau membelinya.

Sementara untuk kebutuhan dapur adalah setiap hari, tiga kali sehari. Lalu, bagaimana mereka bisa bertahan? Salah satu caranya adalah dengan meminjam dahulu uang pada agen. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya, bukan?

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya, hidup dengan membuat atap rumbia itu tidak bisa mencukupi biaya hidup sehari-hari. Namun mereka terpaksa atau harus membuat atau menjahit atap, karena hanya itu yang mereka bisa. Ya, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari orang-orang yang berjuang membangun kehidupan selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun