Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berubah untuk Tidak Berubah

29 April 2022   06:20 Diperbarui: 3 Mei 2022   13:53 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berubah untuk Tidak Berubah menuju Masa Depan (monoist.itmedia.co.jp)

Kouin ya no gotoshi.

Ini adalah peribahasa Jepang yang artinya waktu cepat berlalu. Time flies, kalau kata orang bule.

Tak terasa sudah sebulan lebih sejak meninggalkan Tokyo bulan Maret lalu. Hari Jum'at pagi 29 April 2022, dengan berat hati saya harus meninggalkan ibu pertiwi.

Waktu memang terasa berlalu lebih cepat, seturut pertambahan umur. Anda tentu mempunyai pengalaman yang sama, bukan?

Ketika kita masih kecil, waktu berlalu dengan amat lambat. Saat kita remaja, kemudian menjadi dewasa, berangsur-angsur waktu menjadi lebih cepat bergulir.

Selama berada di sini, saya sempat mengunjungi SD tempat belajar dahulu. Jarak sekolah amat dekat dari rumah, hanya butuh sekitar 5 menit untuk sampai ke sana.

Kenangan masa kecil berseliweran dalam ingatan, ketika berjalan menyusuri bangunan di dalam kompleks SD. 

Angan-angan melayang menembus tirai waktu, membayangkan saat dahulu harus berpanas-panas melakukan upacara bendera, dan main sepak bola di halaman sekolah.

Sewaktu menelusuri gedung SD, saya mengamati bahwa halaman sekolah kini terlihat kecil, namun terpelihara rapih. Padahal luas halaman dahulu dan sekarang, pastinya tidak berubah.

Ukuran halaman sekolah yang terlihat menciut, serta waktu terasa berlalu lebih cepat, merupakan hal wajar dirasakan manusia seiring pertambahan umur.

Menurut Ichikawa Makoto dari Universitas Chiba, hal tersebut berhubungan dengan pergerakan jam perasaan dan keadaan metabolisme tubuh.

Begini hubungannya. Saat kita masih kecil, metabolisme tubuh bekerja sangat aktif. Hal ini menyebabkan pergerakan jam perasaan menjadi cepat. Akibatnya, waktu akan terasa lama berlalu.

Sebaliknya, dengan pertambahan umur maka metabolisme tubuh menjadi lambat. Sehingga pergerakan jam perasaan juga menjadi lambat. Akibatnya, waktu akan terasa cepat berlalu.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita bisa mendapati hal-hal yang berubah dan tidak berubah. Saya akan memberikan contoh mulai dengan hal-hal yang berubah.

Dalam perjalanan dari bandara menuju hotel saat kedatangan, kemudian ke rumah tinggal setelah karantina selama satu hari, dan selama liburan (tepatnya, WFH sih) di rumah, saya melihat suasana Jakarta telah banyak berubah jika dibandingkan dengan keadaan 3 tahun lalu. 

Bukan hanya suasananya berbeda, hal-hal lain seperti moda transportasi, contohnya kereta api pun, sudah mengalami banyak perubahan.

Saya sudah mencoba naik MRT dari stasiun keberangkatan awal di Lebak Bulus, hingga perhentian akhir di Stasiun Bundaran HI. 

Anda boleh percaya maupun tidak, kebersihan serta kecanggihan sarana dan prasarananya, tidak jauh berbeda dengan yang saya gunakan setiap hari di Tokyo.

Saat keluar dari Statiun Bundaran HI yang berada di bawah tanah, saya disambut oleh gedung pencakar langit, baik yang sudah jadi serta masih dalam tahap pembangunan. Suasana di area sekitar Jalan M.H. Thamrin, tidak jauh berbeda dengan suasana di Marunouchi, Tokyo.

Tidak pernah terbayang dalam benak saya, perubahan itu bisa terwujud di Jakarta.

Perubahan lain yang saya rasakan adalah kemudahan sambungan telekomunikasi terutama koneksi data nirkabel. 

Dahulu ketika ingin mengecek email atau mencari informasi di internet melalui koneksi wifi dari rumah, saya hanya bisa menemukan host kepunyaan sendiri ketika memindai jaringan. 

Sekadar catatan, host adalah media perantara (biasanya hape atau wifi router) untuk sambungan nirkabel (bahasa kerennya, tethering) ke internet.

Akan tetapi, sekarang kebanyakan orang bisa mempunyai koneksi internet menggunakan berbagai macam cara. Buktinya, saya bisa menemukan kurang lebih sepuluh host ketika memindai dari rumah. Satu milik pribadi, sedangkan sembilan host lain adalah milik tetangga. 

Saya mendapati beberapa host dinamai amat unik. Misalnya ada yang namanya "nenek" (mungkin hadiah dari sang cucu), "sayangku" (kalau ini sih mungkin pasangan pengantin baru), "si puss" (ini pasti tetangga sebelah kiri yang memelihara banyak kucing), bahkan ada orang menamainya sesuai dengan alamat rumah (orangnya pasti terlalu pede).

Perubahan lain yang saya rasakan adalah, saat ini terasa gampang bagi masyarakat untuk bepergian dengan menggunakan Grab, Gojek dan applikasi yang disediakan oleh perusahaan taksi seperti Blue Bird. Padahal dahulu mau cari taksi saja susah bukan main.

Bisnis dengan menawarkan tumpangan atau mobilitas ini sangat membantu pergerakan orang. Bahasa keren untuk pola bisnis seperti ini adalah Mobility as a Service, biasa disingkat MaaS.

Ada banyak keuntungan menggunakan MaaS. Salah satunya adalah mengurangi polusi, karena jika ada 4 orang ingin pergi ke suatu tempat yang sama, maka bisa naik mobil bersama (ride-sharing). Dengan begini, maka jumlah CO2 tentu bisa dikurangi, dibandingkan jika setiap orang membawa mobil sendiri.

Ada banyak lagi perubahan lainnya, namun ada satu hal yang secara khusus saya perhatikan. Menurut hemat saya, saat ini kebanyakan orang lebih mementingkan diksi daripada esensi. Mungkin karena banyaknya tulisan atau informasi yang tersebar di internet? Entahlah, saya tidak tahu jawabannya.

Misalnya, belakangan ini kata toleransi menjadi populer. Kita bisa membacanya di koran, daring seperti Kompasiana, juga melihatnya di televisi.

Melalui berbagai media tersebut, saya mengetahui bahwa semua orang berlomba untuk memberikan definisi apa itu toleransi. Ternyata banyak juga orang yang hanya "bermain" dengan diksi toleransi.

Padahal dahulu, orang tidak peduli pada diksi dan definisi. Karena definisi yang terbentuk dari susunan kata, cuma mutiara berjejer, dipakai sebagai hiasan yang dikalungkan pada leher.

Sejatinya toleransi tidak perlu definisi. Alasannya, pengejawantahan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat itulah yang terpenting. Bagaimana orang bisa merasa aman dan nyaman, merupakan esensi dari toleransi. 

Karena terlalu banyak definisi, namun abai esensi, orang banyak yang alergi dengan kata toleransi. Padahal, dahulu orang melakukan toleransi tanpa teori bertele-tele.

Contoh terakhir tentang perubahan yang ingin saya ceritakan adalah tentang siaran digital televisi. Indonesia akhirnya berencana untuk mematikan siaran analog pada bulan November 2022, kemudian menggantinya dengan siaran digital.

Karena banyak juga tulisan tentang hal ini di Kompasiana, saya ingin menegaskan bahwa siarannya yang digital ya, bukan televisinya. 

Jadi kalau ditulis "televisi digital" agak rancu karena kebanyakan televisi produksi beberapa tahun terakhir (kita mengenalnya sebagai flat TV), sudah digital. Penulisan yang tepat adalah siaran digital (untuk) televisi (digital). 

Sehubungan dengan siaran digital ini, untungnya saya sedang berada di Indonesia. Sehingga bisa membantu orangtua untuk "menyulap" televisi kami, agar bisa menerima siaran digital.

Itulah hasil pengamatan saya tentang beberapa hal yang berubah. Sebaliknya, ternyata ada juga beberapa hal yang tidak berubah.

Misalnya kemacetan, tetap terjadi di Jakarta. Hal ini membuat saya selalu was-was kalau janjian bertemu dengan seseorang. Prediksi dimana dan berapa lama kemacetan akan terjadi, sangat susah dilakukan.

Kemudian demo adalah suatu hal yang tidak berubah dari dahulu. Baik dari caranya, pelakunya, efek sampingnya (misalnya kerusuhan) juga tidak berubah. Contohnya adalah kejadian minggu lalu, kita semua tahu ada demo menentang masa jabatan 3 periode dan beberapa alasan lainnya yang dilakukan oleh mahasiswa. Demo serupa sempat mengundang terjadinya kerusuhan di beberapa daerah.

Saya berpendapat bahwa makanan juga tidak (banyak) berubah. Hanya saja, ada beberapa jenis makanan yang cara penyajiannya agak berubah, meskipun bahan dan bumbunya tetap sama. Itulah hal-hal yang menurut saya tidak berubah.

Masih tentang berubah dan tidak berubah, ingatan melayang pada satu buku yang pernah saya baca. Judulnya "Tukang Roti" (Pan no hito), ditulis oleh Fujimori Jiro. Saya tidak tahu apakah buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa selain bahasa Jepang.

Buku bercerita tentang sang penulis yang notabene adalah pembuat roti, selalu melakukan perubahan, namun tujuannya adalah untuk tidak berubah.

Mungkin kedengarannya agak aneh ya. Bagaimana ceritanya berubah kok untuk tidak berubah? Bukankah ini suatu paradoks?

Akan tetapi jika kita menggunakan sudut pandang berbeda, maka hal tersebut sangat mudah untuk dipahami. Yang berubah itu ternyata cara pembuatan rotinya. Sedangkan yang tidak berubah adalah tujuan, yaitu menjaga kepuasan pembeli (pelanggan). Jadi perubahan yang dilakukan tujuannya untuk tidak merubah (dengan kata lain, menjaga) kepuasan pelanggan.

Bukankah kita mengenal adagium, "Banyak jalan menuju Roma"? Jalan (baca:cara) yang kita pilih boleh berubah (beragam), namun tujuan akhir tidak berubah.

Dunia saat ini mengalami perubahan dalam banyak hal. Misalnya dalam bidang teknologi, perdagangan, transportasi, bahkan dalam hal peta geopolitik.

Akan tetapi kita tahu bahwa semua perubahan itu, tujuannya adalah untuk tidak berubah dari tujuan awal.

Setiap negara mempunyai keinginan untuk mencapai "Gemah ripah loh jinawi". Artinya agar bisa membangun negara yang tenteram dan makmur, serta sangat subur tanahnya. Sehingga rakyat bisa bahagia dan sentosa, lahir serta batin.

Oh ya, saat Anda membaca ini, saya mungkin sedang berada di atas Teluk Jakarta (catatan: waktu tayang artikel saya buat sama dengan jadwal keberangkatan pesawat, menggunakan fitur tayang). 

Sambil memandang untaian Kepulauan Seribu, saya juga bertekat untuk melakukan perubahan. Akan tetapi tujuan hidup yang sudah saya tetapkan, tentu tidak berubah.

Hampir bisa dipastikan bahwa dalam perjalanan menuju Tokyo, saya akan menyanyikan lagu Koes Plus yang berjudul "Kembali ke Jakarta", meskipun hanya di dalam hati. 

Semoga semua berjalan lancar tahun ini, sampai tahun-tahun berikutnya, karena saya selalu menaruh harapan:

Ke Jakarta aku 'kan kembali! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun