Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menyoal "Baliho Man" di Tengah Masa Kampanye

13 April 2019   05:30 Diperbarui: 15 April 2019   07:23 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemasangan poster seukuran A4 yang disatukan untuk semua calon di satu tempat pada pemilu di Tokyo (dokpri)

Saya teringat perkataan pengemudi grab yang saya gunakan ketika mudik 4 bulan yang lalu. Dia bilang sambil tertawa kekeh "pilkada dan pil KB hanya beda tipis mas. Pil KB kalau lupa jadi, sedangkan pilkada kalau jadi lupa."

Ada pula beberapa calon yang memasang foto pahlawan nasional, selebriti dunia dan bahkan foto orang lain di baliho, bersama dengan foto dirinya. Entah apakah calon itu kurang pe-de sehingga harus foto dengan orang lain? Atau mungkin dia ingin dianggap memiliki semangat ataupun pemikiran (kalau menggunakan tren bahasa sekarang, mempunyai "DNA") yang sama dengan orang yang di"catut" fotonya disitu? Atau, ada tujuan lain yang kita tidak tahu?

Saya pikir sih sah-sah saja mereka menggunakan foto orang lain. Tapi syaratnya, harus izin dahulu. Misalnya ijin keluarga/kerabatnya kalau foto yang dipasang adalah orang Indonesia, atau ke agen yang bersangkutan kalau yang dipasang foto orang asing. Jangan sampai nanti setelah men"catut" foto orang, malah cuma menjadi bahan cemohan dan ujung-ujungnya minta maaf atas kelakuannya itu.

Lalu, mungkin kita juga tidak boleh baper kalau baliho kemudian dirusak oleh orang lain. Memang perbuatan merusak baliho adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan harus dijauhi. Namun kalau berlebihan seperti menangis dan sebagainya, sepertinya tidak perlu.

Kalau kita lihat dari sisi lain, misalnya pembuatan baliho, tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Saya tidak tahu ke mana perginya baliho-baliho itu setelah pilpres/pilkada usai. Bisa dibayangkan, apabila tidak bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan yang lainnya, maka dipastikan ada tambahan sampah yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit.

Bahkan sebelum pilpres/pilkada usai pun, saya agak kaget karena ternyata banyak juga tumpukan beberapa baliho yang disita dan dibongkar karena melanggar peraturan. Itu baru di suatu daerah saja. Belum di daerah lain, di mana baliho yang melanggar peraturan juga disita dan ditumpuk di suatu tempat. 

Apalagi nanti setelah pilpres/pilkada usai. Bisa kah dibayangkan, berapa meter tingginya bila semua baliho diseluruh Indonesia itu kemudian ditumpuk di satu tempat?

Pada hari Sabtu yang cerah ini, saya punya angan-angan. Ke depan andaikan nanti saat pemilu diadakan, bisakah diupayakan agar tidak perlu ada pemborosan biaya lagi untuk membuat baliho? Lho, kalau tidak ada baliho, lalu bagaimana cara calon "menjual diri"? 

Kita bisa tiru Jepang. Cukup membuat poster yang tidak besar (seukuran kertas A4), lalu diatur pemasangannya di satu tempat seperti bisa dilihat pada foto di bawah. Di sana ada nomornya, sehingga nanti calon yang mau pasang poster bisa mendaftar, mendapat nomor, lalu memasangnya pada nomor yang telah ditentukan. Dan tidak boleh menggunakan alat kampanye selain di tempat yang telah ditentukan seperti itu. Simpel kan?

Dengan cara ini, selain bisa menghemat biaya, juga dari segi estetika tidak "merusak" pemandangan. Apalagi, dengan cara ini maka sampah tidak akan bertambah, sehingga lebih ramah lingkungan.

Semoga saja bisa terwujud. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun