Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia pada 25--30 Agustus 2025 bukan sekadar peristiwa politik atau kerusuhan massa. Jika ditelaah melalui perspektif manajemen sumber daya manusia (SDM), aksi tersebut merepresentasikan kegagalan negara dalam mengelola hubungan dengan rakyatnya sebagai "karyawan" dalam organisasi besar bernama bangsa.
Awal: Ketidakadilan yang Terakumulasi
   Akar persoalan terletak pada ketimpangan dalam distribusi sumber daya. Keputusan mengenai tunjangan DPR menjadi simbol yang memperlebar jarak antara elite politik dan masyarakat. Dalam teori equity, ketidakadilan kompensasi selalu melahirkan rasa frustrasi. Publik membandingkan keistimewaan pejabat dengan kondisi pekerja yang masih berhadapan dengan upah minimum, outsourcing, dan gelombang pemutusan hubungan kerja.
   Lebih dari sekadar keputusan finansial, masalah ini menunjukkan adanya kegagalan komunikasi. Negara tidak menyediakan ruang dialog untuk menjelaskan, mendengarkan, atau menanggapi secara terbuka aspirasi masyarakat. Ketiadaan kanal komunikasi yang sehat menjadikan protes sebagai pilihan tunggal.
Puncak: Tragedi sebagai Titik Eskalasi
   Dalam manajemen konflik, selalu ada titik balik yang mengubah ketidakpuasan menjadi perlawanan terbuka. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas akibat terlindas kendaraan taktis Brimob, menjadi pemicu solidaritas nasional. Peristiwa ini mengubah isu yang semula bersifat struktural---kenaikan tunjangan DPR---menjadi persoalan yang personal dan emosional.
   Dari perspektif MSDM, peristiwa ini serupa dengan kecelakaan kerja yang tidak ditangani secara empatik. Tanpa respons kemanusiaan, tragedi tersebut menyalakan kemarahan kolektif. Ia menjelma simbol ketidakadilan dan memperluas partisipasi massa, dari mahasiswa hingga pekerja sektor informal.
Akhir: Negosiasi dalam Bentuk Tuntutan
   Redanya aksi pada 30 Agustus tidak berarti berakhirnya persoalan. Justru puncak dari demonstrasi tersebut adalah lahirnya 17+8 Tuntutan Rakyat, yang berfungsi layaknya collective bargaining agreement dalam hubungan industrial. Tuntutan ini merangkum aspirasi jangka pendek---mulai dari transparansi anggaran hingga perlindungan kerja---serta agenda jangka panjang yang menuntut reformasi struktural.
   Dalam kerangka MSDM, tuntutan ini merupakan refleksi atas gagalnya fungsi employee relations dalam skala nasional. Rakyat sebagai "tenaga kerja" menegosiasikan haknya di luar mekanisme formal, karena kanal dialog yang sahih dianggap tidak lagi berfungsi.
Refleksi: Krisis sebagai Guru