Mohon tunggu...
Syifa Susilawati
Syifa Susilawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Mahasiswi Sarjana - Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peningkatan Budaya Literasi Sejarah sebagai Regulasi Pemuda Berdaya

21 Januari 2022   11:50 Diperbarui: 4 April 2022   15:12 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nusabali.com

Telah banyak data hasil penelitian yang mengungkap persentase rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Hal ini mengundang berbagai macam reaksi dari berbagai kalangan, baik pegiat literasi, akademisi, peneliti, hingga pemangku jabatan yang kemudian membawa hal ini kepada arah yang dipandang cukup serius.

Dilansir dari hasil penelitian UNESCO pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dalam hal literasi di dunia, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, yang berarti dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca. Sementara dalam penelitian Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan, bahwa Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. (Zaid, 2021). 

Adapun penelitian terbaru yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah hasil riset Central Connecticut State University pada bulan Maret tahun 2016, yang masih menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. (Kominfo, 2021)

Ada kalangan yang menanggapi bahwa hasil penelitian tersebut sudah tidak lagi relevan jika dijadikan tolak ukur dalam menanggapi permasalahan budaya literasi di zaman ini. Seperti Syarif Bando, salahsatu staff pengurus Perpusnas (Perpustakaan Nasional) dalam liputan antara news. 

Ada pula yang beranggapan bahwa sikap yang dianggap tepat dalam menghadapi hal ini ialah insyaf dan merefleksikan masalah-masalah yang sekiranya menyebabkan rendahnya budaya literasi dalam kehidupan mayarakat Indonesia, untuk kemudian melaksanakan berbagai upaya untuk turut berkonstribusi menyelesaikan permasalahan.

Sejalan dengan hal itu, keprihatinan mengenai rendahnya budaya literasi, berlanjut lebih serius dalam persoalan rendahnya literasi sejarah, yang mana kedudukan sejarah sebagai penunjang kesadaran kolektif suatu bangsa mengenai jati dirinya tidak kalah penting dalam menentukan kualitas intelektual dan arah gerak suatu bangsa.

Jika peningkatan kualitas literasi digaungkan sebagai tujuan untuk mencapai atensi internasional dalam hal memberantas buta huruf misalnya, tentu hal ini sudah diwacanakan melalui berbagai macam gerakan yang hampir menyebar di seluruh Indonesia. Namun demikian berbeda ketika wacana ini disikapi lebih lanjut, yakni untuk menjadikan literasi sebagai bagian dari budaya atau menjadikan literasi sebagai bagian dari emansipasi yang perlu diperjuangkan dalam ekosistem masyarakat yang lebih luas.

Selanjutnya, permasalahan rendahnya budaya literasi masyarakat Indonesia jika kemudian disandingkan dengan peran pemuda sebagai komunal produktif dan berdaya gerak yang bersifat agent of change, agent of development, agent of modernization, agent of ideology. Tentu hal ini menjadi wacana yang semakin serius. Memandang kesatuan persoalan tersebut (literasi, literasi sejarah dan peran pemuda) menjadi inheren dan tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembangunan bangsa berkemajuan, dalam rangka mewujudkan gagasan kemerdekaan yang sejati. Jika demikian nyaring resonansi persoalan mengenai literasi, apakah sebagai pemuda cukup bersifat apologetis dan tidak memerhatikannya dengan serius?

Budaya Literasi Sejarah: Peningkatan Kualitas Pemuda Berdaya

Pertama-tama untuk menghindari miskonsepsi dalam memahami istilah literasi, perlu untuk terlebih dahulu menguraikan dengan pengertian yang utuh. Memang tidak salah, jika literasi kemudian diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dalam pemaknaan sempit, yakni cukup diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membaca rangkaian huruf menjadi sebuah kalimat utuh, membaca kalimat utuh menjadi sebuah paragraf lengkap. Namun lebih lanjut, pemaknaan literasi dalam arti luas perlu kiranya harus direfleksikan kembali. Definisi literasi sudah seharusnya diselaraskan dengan apa yang sebetulnya dibutuhkan saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun