Mohon tunggu...
Humaniora

Berislam dengan Logis, Istiqomah dalam Silogisme

23 Februari 2018   13:21 Diperbarui: 23 Februari 2018   13:31 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu penarikan kesimpulan (konklusi) dalam logika adalah melalui apa yang disebut dengan silogisme, yang dibuka dengan "premis mayor" lalu dilanjutkan dengan "premis minor" dan ditutup dengan konklusi.

 Sebelum melanjutkan pada contoh, penting ditekankan bahwa premis mayor adalah sesuatu yang telah disepakati kebenarannya berdasarkan fakta, dalil, atau apapun juga yang menyebabkan validitasnya tak diragukan. Itu penting lantaran premis adalah dasar: salah dalam membangun premis akan memberi efek domino langsung berupa kesalahan dalam premis mayor dan tentu pada kesimpulanya di akhir. Oleh karena itu, butuh kehati-hatian dalam menentukan dan menyepakati sebuah premis mayor akan sebuah bangunan kesimpulan menjadi logis.

 Dalam melawak saja, kita dapati Stand Up Comedy juga membangun lawakannya di atas sebuah premis, di mana jika premisnya mengena dan kuat, akan lucu sebuah canda. Maka, jika bercanda saja butuh silogisme, terlebih dalam beragama bukan?!

 Adapun yang sering dipakai sebagai contoh dalam pelajaran logika terkait silogisme misalnya:

 Premis Mayor : Semua yang berakal adalah manusia.

 Premis Minor : Budi berakal.

 Konklusi : Budi adalah manusia.

 Kesesatan (fallacy) dalam kesimpulan kita tentang perkara-perkara dalam agama sering terjadi di level kegagalan membuat "premis minor" yang tepat dan objektif. Sebab, premis minor adalah sebuah identifikasi berdasar premis mayor yang telah disepakati di tingkat teoritik (termasuk definisinya, misalnya kalau terkait contoh di atas: apa kriteria berakal). Identifikasi itulah yang sering meleset sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah dan berakhir pada hukum atau minimal sikap yang salah pula. Misalnya:

 Premis Mayor : Semua yang bukan Islam adalah kafir.

 Premis Minor : Pancasila bukan Islam.

 Konklusi : Pancasila adalah kafir.

 Konklusi yang salah di atas didapat dari premis minor yang meleset. Meleset di antara dua aspek atau bahkan keduanya, yakni pertama, definisi Islam. Kedua, identifikasi tentang apa saja yang Islam. Mengenai yang pertama, sudah dijelaskan di artikel sebelumnya dengan tajuk: "Berislam dengan Logis: Signifikansi "Definisi"". Adapun yang menjadi fokus artikel ini adalah kesalahan yang terjadi pada yang terakhir, yakni salah identifikasi.

 Salah identifikasi itu kerap begitu saja dilewati dalam pola pikir kita selama ini lantaran diselipkan dalam premis mayor yang sudah disepakati. Penentangan terhadap premis minor akhirnya dituduh dan dikaburkan sebagai penentangan terhadap premis mayor. Misalnya dalam konteks contoh di atas, penentangan terhadap tuduhan bahwa Pancasila bukan Islam disimpulkan sebagai penentangan terhadap Islam. Menolak "Khilafah" (dalam tafsir HTI misalnya) berarti menolak Islam.


 Maka, jika kesalahan dalam identifikasi premis minor saja akan menimbulkan kesimpulan yang salah kaprah, bayangkan jika kesalahan terjadi sejak di premis mayor. Betapa rusaknya sebuah bangunan kesimpulan?!

 Pola silogisme ini nantinya dalam Islam dibutuhkan dan signifikan dalam bangunan ajaran Islam. Silogisme misalnya, dibutuhkan sebagai salah satu metode penarikan hukum dalam ilmu ushul fiqh. Pengaruh itu sudah ada sejak ushul fiqh diletakkan pondasinya pertama kali oleh Imam Syafi'i melalui karya agungnya: "Al-Risalah", yakni dalam penarikan hukum melalui metode qiyas (analogi). Lebih jauh, pengaruh silogisme yang bersumber dari filsafat Aristoteles itu terhadap qiyas Imam Syafi'i bahkan bisa dilacak sejak genealogi keilmuan yang Imam Syafi'i yang banyak dipengaruhi metode tasybih dalam ilmu balaghah yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Faramdi (w. 170 H) dan dilanjutkan oleh muridnya, Sibawayhi (w. 180 H). Menurut Muhammad 'Abid Al-Jabiri, keduanya banyak terinspirasi logika Aristoteles dalam menyusun gramatika bahasa Arabnya secara umum.

 Akhirnya, tertib logika, di mana salah satunya yakni tertib silogisme dalam hal ini merupakan bagian dari doktrin istiqomah (konsistensi) dalam Islam. Tanpa konsistensi, sebuah bangunan peradaban (Islam) semegah apapun, akan rapuh, mudah diruntuhkan oleh serangan-serangan rasional dari peradaban lain.

ByHusein Ja'far Al Hadar

Sumber: syiarnusantara.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun