Angin merisik lembut dedaun yang hampir lelap di dahan-dahan, gemintang berkedip terpecah di mata bumi yang melihatnya. Sepi, hanya suara sepotong gelap yang putus-putus terpantul di siraman lampu gantung. Pikirku, tempat ini ternyaman bermulanya segala hal, pun berakhirnya dayung intuisi.
Terlalu sepi memang, hela napas terdengar seperti seruling ditiup asal. Terlebih jika rindu begini.
Kau tahu hal paling menyiksa? Melumaskan perasaan hingga ludes air mata? Ialah sesal yang menyesak bergeming, setelah keterlanjuran membatu di lewati. Tak mungkin kembali, meniup doapun kedengaran aneh.
Aku ingin Bunda, memeluk erat raganya menjelang lelap. Usapan tangan itu ... ah bodohnya kutepis inginnya tadi pagi dengan lontaran kata pulang. Apa sekarang? Tinggal bahu yang berguncang terisak ditampar bayangan.
Bunda, maafkan aku atas rasa kecewa yang remuk redam kau masukkan kerongkongan mulai hari ini. Demi menuruti sepi yang kukira karib.
ponorogo, 19 September 2019