Di luar sana, banyak anak-anak Indonesia yang tumbuh dengan dua dunia: satu dunia tempat mereka lahir dan belajar, dan satu lagi tempat mereka mengenang asal-usul keluarganya. Tapi ketika bicara soal status kewarganegaraan, mereka dihadapkan pada pilihan sulit: memilih satu dan meninggalkan yang lain.
Isu kewarganegaraan ganda di Indonesia seperti benang kusut yang belum juga diurai. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 masih memegang prinsip kewarganegaraan tunggal, artinya setiap orang hanya diizinkan memiliki satu kewarganegaraan. Di atas kertas, itu terdengar sederhana. Tapi di lapangan, situasinya jauh lebih kompleks.
Banyak anak hasil perkawinan campuran, atau anak WNI yang lahir di luar negeri, tumbuh dengan dua identitas. Mereka mencintai Indonesia karena orang tuanya berasal dari sini, tapi juga merasa terhubung dengan negara tempat mereka dibesarkan. Ketika mereka dewasa, mereka dipaksa untuk memilih satu negara, dan melepaskan yang lainnya. Padahal identitas manusia tidak sesempit itu.
Pemerintah sempat menyampaikan wacana membuka peluang kewarganegaraan ganda terbatas, khususnya bagi diaspora yang telah lama tinggal di luar negeri. Wacana itu disambut dengan antusias oleh banyak pihak, karena dianggap sebagai bentuk pengakuan bahwa warga negara bisa mencintai lebih dari satu tempat tanpa harus kehilangan rasa kebangsaan.
Tapi seperti biasa, muncul suara-suara ketakutan. Katanya, kalau kita membolehkan kewarganegaraan ganda, nanti akan banyak orang yang hanya "mampir" jadi WNI demi kepentingan pribadi. Atau bahwa ini akan membuka celah penyalahgunaan hukum. Ketakutan itu ada benarnya. Tapi membangun kebijakan berdasarkan ketakutan semata hanya akan menutup peluang.
Yang sering dilupakan adalah bahwa banyak dari mereka yang ingin tetap menjadi WNI bukan karena sekadar status, tapi karena rasa keterikatan yang kuat dengan Indonesia. Mereka ingin tetap bisa pulang, berkontribusi, membangun kampung halamannya. Tapi hukum yang kaku membuat mereka seolah tidak diinginkan.
Saat ini, Indonesia justru kehilangan banyak potensi hebat dari anak-anak bangsa yang memilih melepaskan kewarganegaraannya. Bukan karena mereka tidak cinta, tapi karena sistem memaksa mereka untuk melepaskan.
Padahal, kewarganegaraan bukan sekadar alat legal, tapi cerminan keterhubungan dan rasa memiliki. Banyak negara lain sudah membuka diri terhadap konsep dual citizenship: Amerika Serikat, Filipina, bahkan negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura mulai melonggarkan aturan ini dalam konteks terbatas.
Mengapa kita masih takut?
Membuka ruang untuk kewarganegaraan ganda bukan berarti membuka pintu seenaknya. Negara bisa menetapkan batasan, membuat skema khusus, dan tetap menjaga prinsip kedaulatan. Tapi menutup semua kemungkinan sama saja dengan menutup diri dari dunia yang terus berubah.
Di era globalisasi seperti sekarang, orang bisa bekerja lintas negara, belajar lintas benua, dan membangun jaringan lintas batas. Tapi mereka tetap ingin pulang, tetap ingin diakui sebagai bagian dari bangsa tempat asal mereka.