Mohon tunggu...
Syauqia syifa Sajiddah
Syauqia syifa Sajiddah Mohon Tunggu... Ilmu Perpustakaan

Kewarganegaraan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

WNI Tapi Tidak Merasa Memiliki: Krisis Rasa Kebanngsaan Generasi Muda

22 Juni 2025   23:14 Diperbarui: 22 Juni 2025   18:24 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Saya WNI. Tapi negara terasa bukan milik saya.”

Kalimat itu mungkin terdengar ekstrem. Tapi bagi sebagian anak muda hari ini, itu nyata. Rasa menjadi bagian dari bangsa tak cukup hanya karena punya KTP atau ikut upacara setiap 17 Agustus. Mereka ingin merasa benar-benar diakui—didengar, dilibatkan, dan dipedulikan.

Sebagai generasi yang lahir di tengah zaman digital, kami tumbuh dengan akses luas pada informasi, kecepatan, dan realitas global. Tapi di saat yang sama, banyak dari kami juga merasa terlalu jauh dari negara yang secara hukum kami miliki. Negara hadir di pelajaran sekolah, di halaman buku PPKn, di media sosial pejabat, tapi tidak selalu hadir dalam hidup nyata: saat biaya kuliah naik, saat lapangan kerja terbatas, atau saat suara kami dianggap angin lalu.

Ini bukan tentang kurang cinta tanah air. Ini tentang rasa terpinggirkan, meski secara administrasi kami sah sebagai warga negara Indonesia.

Krisis rasa kebangsaan ini tidak datang tiba-tiba. Ia pelan-pelan tumbuh dari pengalaman sehari-hari:
Ketika melihat orang tua harus berjuang dengan birokrasi rumit untuk sekadar mengurus dokumen.
Ketika teman-teman cerdas tak bisa lanjut kuliah karena biaya.
Ketika yang didengar hanya suara mayoritas, sementara suara anak muda dianggap “belum cukup umur” untuk bicara soal bangsa.

Padahal, justru generasi muda lah yang akan mewarisi negara ini. Tapi bagaimana bisa mewarisi sesuatu yang tak pernah benar-benar merasa kita miliki?

Rasa memiliki lahir dari pengalaman dilibatkan. Kalau setiap aspirasi dianggap ancaman, kritik dianggap pembangkangan, dan keaktifan dianggap mengganggu—lalu bagaimana anak muda bisa tumbuh dengan rasa cinta yang sehat terhadap negaranya?

Pendidikan kewarganegaraan selama ini terlalu sering fokus pada hafalan. Pancasila dihafal, UUD dikutip, tapi sedikit sekali ruang untuk merasakan langsung makna menjadi warga. Kita lupa bahwa nasionalisme bukan cuma soal lambang dan teks, tapi soal rasa. Rasa punya tempat, rasa punya hak, dan rasa bisa ikut menentukan arah bangsa.

Generasi muda hari ini ingin nasionalisme yang hidup—bukan yang dipaksakan. Nasionalisme yang kritis, tapi penuh kasih. Yang bisa mencintai tanah air tanpa harus selalu setuju dengan segala hal yang dilakukan negara.

Sebagai mahasiswa, saya sering mendengar teman-teman bicara, “Negara ini milik segelintir orang,” atau “Suara kita nggak ada harganya.” Kalimat itu menyedihkan. Tapi justru dari sanalah kita harus mulai. Jangan menuntut generasi muda untuk cinta negara, kalau negara sendiri belum sepenuhnya menunjukkan bahwa cinta itu timbal balik.

Menjadi WNI bukan sekadar status. Ia seharusnya juga menjadi rasa memiliki dan dimiliki. Karena jika tidak, yang tertinggal hanya KTP di dompet, tapi hampa di hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun