"Terus kenapa? Mentang -- mentang kamu sahabatku, enak saja kamu seperti itu. Emangnya masalah selesai kalau sekedar minta maaf saja?!" aku menaikkan nadaku.
"Terus lu maunya apa, hah? Nyogok guru biar nilai kita tinggi? Andre juga menaikkan nadanya.
"Lama -- lama kamu itu kayak bajingan ya ndre" kataku dengan sinis.
Andre naik pitam dan menaikkan kerah bajuku. "Lu bilang apa barusan? BAJINGAN?" ucapnya.
Kami terlibat perdebatan yang mengundang perhatian siswa sekitar. Mereka bersorak seolah -- olah sedang melihat pertandingan yang sengit. Namun, tiba -- tiba salah seorang dari mereka melerai kami. Rupanya itu Deni, salah satu teman kami.
"Woi berhenti, berhenti!!" lerai Deni. "Kalian kenapa bertengkar sih?" sambungnya
"Tanya aja sama anak itu." Aku menunjuk ke Andre.
"Gua nyontek ke dia, tapi kami malah ketahuan. Terus gua minta maaf ke dia, eh malah gak terima. Udah gitu ngelunjak lagi."
Aku tidak diam begitu saja, aku harus membela diriku. Lalu aku menjawab. "Kalo gak gara -- gara dia, gak bakal ada masalah ini. Lagian minta maaf aja emang masalah selesai?"
"Sudah, sudah. Cukup. Karena ulah kalian berdua, sekarang kena hukuman. Lalu solusi kalian dengan bertengkar? Yang ada malah memperburuk nama baik, serta hubungan silaturrahmi kalian. Jangan sampai pertemanan kalian rusak karena masalah ini. Apalagi kalau nanti sampai ada korban, bagaimana? Mau kalian bertanggung jawab?" kata Deni sambil menahan kami.
"Lagipula kalau sekiranya minta maaf tidak menyelesaikan masalah, paling tidak menerima maaf itu melegakan hatimu, Wisnu. Tidak kasihan pada Andre? Dia sudah minta maaf duluan loh. Jarang -- jarang kita bertemu orang yang langsung mengakui kesalahannya."