Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jube' dan Cangkolang: Cara Orang Madura Mengajarkan Moral

14 Maret 2017   09:39 Diperbarui: 15 Maret 2017   02:01 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://www.formasirua.or.id/


Madura menyimpan kearifan budaya yang kaya dengan nilai-nilai moral. Moralitas adalah urat nadi sebuah kebudayaan. Tanpa moralitas, sebuah kebudayaan akan cepat rapuh karena tidak punya kerangka dasar dan pijakan yang kuat. Tengoklah kebudayaan-kebudayaan instan yang yang diimpor dari luar sana, di dalamnya selalu terdapat bahaya yang mengancam kemanusiaan. Budaya hidup bebeas, budaya buka-bukaan, budaya narkoba, dugem dan sesamanya adalah contoh kebudayaan luar yang tidak bermoral.

Beruntung sekali kita dapat warisan kebudayaan dari para leluhur dan orang tua yang sangat bijaksana. Mereka menjadikan moralitas sebagai roh kebudayaan Madura, salah satunya melalui rekayasa bahasa dengan menciptakan semacam stigma atau istilah yang bersentuhan langsung dengan moralitas. Bahasa ini menjadi semacam jimat yang bisa menyelamatkan anak-anak Madura dari perbuatan jelek dan tidak sopan. Di masa kecil dulu, bersama anak-anak yang lain, kami selalu berusaha untuk mencari jalan agar tidak bersua dengan bahasa yang “angker” tersebut.

Bagaimanapun juga sebuah bahasa akan sangat berpengaruh terhadap psikologis seseorang. Sebagaimana psikologi juga mempengaruhi seseorang dalam memproduksi sebuah bahasa. Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sejalan dan berbanding lurus. Dari sebuah bahasa, kondisi jiwa seseorang dapat diarahkan untuk melakukan satu tindakan yang diinginkan, atau dikendalikan dari melakukan sesuatu yang dilarang.

Terkait dengan pengendalian perilaku inilah, orang-orang Madura memiliki satu kearifan bahasa yang dapat digunakan sebagai cara menanam dan menumbuhkan moral. Tidak mengandung cacian, apalagi hinaan, tapi nilai kearifan untuk meluruskan jalan.

Jube dan Upaya Menanam Kesalehan

Kalau ada seorang anak yang berperilaku tidak baik, kurang pantas, maka para orang tua akan melarangnya dengan mengatakan: jube. Jube’ berdeda dengan istilah haram, makruh, batil, mungkar, atau bid’ah dalam terminologi agama. Jube’ bahkan mencakup itu semua, kalaupun mau disepadankan, istilah jube’ ini lebih dekat dengan akhlaqul madzmumah, akhlak (moral) yang tercela. Tapi istilah ini kedengarannya tidak “ekstrim” karena memang berasal dari kebudayaan sehari-sehari orang Madura yang sudah berlangsung sekian lama.

Sekedar contoh, di antara sekian banyak perbuatan yang dianggap jube’ adalah makan sambil berdiri atau menggunakan tangan kiri, nonton tivi di waktu maghrib, tidur di waktu subuh, mengambil punya orang lain, suka ganggu orang (la-nayala), tidak menanggapi saat dipanggil, melawan saat dinasehati, dan seterusnya. Ketika para orang tua menemukan anak-anak berperilaku demikian, mereka hanya bilang: “jangan nak, itu jube’”!. Dan tidak memakai istilah-istilah agama seperti haram, dosa, sesat dan sejenisnya.

Anak-anak di Madura lebih mudah menerima istilah jube’ dari pada memakai istilah lain untuk melarang mereka dari satu perbuatan tertentu yang kurang atau tidak pantas dikerjakan. Jube’ adalah sebuah sebutan untuk melarang dan sekaligus upaya untuk menanam: melarang kejelekan dan menanam kesalehan. Indikasi utama kesalehan menurutmadzhab Madura adalah paradduh (cocok) bagi Tuhan, orang tua dan bangsanya. Kalau sudah cocok pasti disenangi dan disayang, dan untuk bisa demikian, kita semua harus menghindar sejauh mungkin dari pebuatan jube’: moralitas yang rusak dan tidak pantas dimiliki sebagai manusia.

Cangkolang dan Upaya Menumbuhkan Kesopanan

Istilah cangkolang biasanya dilekatkan pada sebuah perbuatan yang melanggar etika sopan santun dalam pergaulan dengan orang yang dituakan, atau orang yang semestinya mendapat penghormatan. Dalam kebudayaan Madura, terdapat istilah bapa’ bapu’ guru rato(bapak, ibu, guru, raja), yang merupakan orang-orang yang harus dihormati dalam pergaulan, melebihi yang lain. Perilaku yang tidak menghormati, tidak sopan, terhadap orang-orang tersebut, dinamakan cangkolang atau dalam bahasa agamanya; suul adab aliastak tao tatakrama (tidak tahu etika).

Anak yang bicara kasar kepada orang tuanya, tidak mematuhi perintahnya, tidak memenuhi panggilannya, atau tidak turun dari sepeda saat bertemu dengan gurunya yang sedang berjalan kaki di jalan, memakai sandal gurunya, tidak mengerjakan perintahnya, adalah sekedar contoh dari perbuatan seorang anak yang dianggap cangkolang.  

Sebutan cangkolang untuk seseorang, dapat memberikan efek psikologis, semacam rangsangan dari dalam untuk segera merubah tindakan menjadi lebih sopan. Istilahcangkolang ini, lebih bersentuhan secara emosional dengan mental seseorang, sehingga lebih mudah untuk berubah, dari pada istilah suul adab. Secara pelan-pelan, dapat menumbuhkan sikap kesopanan dalam pergaulan selanjutnya dengan-orang yang ditempatkan pada posisi terhormat dalam kebudayaan Madura.

Kesopanan adalah harga mati dalam tata nilai kearifan orang-orang Madura. Artinya, orang yang tidak memiliki kesopanan, akan dikucilkan dari pergaulan. Para kaum balater atau bajingan sekalipun, masih memegang erat perilaku sopan santun saat bergaul dengan orang-orang, meskipun ada beberapa bajingan zaman belakangan sampai sekarang di Madura yang benar-benar bajingan: tidak tahu kesopanan.

Catatan Akhir

Jube’ dan cangkolan merupakan dua istilah yang sering digunakan oleh orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak cucu mereka, sesuai penjabaran di atas. Moralitas selalu berisi kebaikan dan kesopanan. Moralitas yang menjadi dasar dan tiang penegak kebudayaan, akan melahirkan berbagai kearifan-kearifan. Bila kebaikan dalam tindakan dan kesopanan dalam pergaulan, tidak mendapatkan perhatian dan ruang yang cukup, maka moralitas akan rapuh dan kebudayaan akan segera runtuh.

Meskipun banyak istilah agama yang serupa, jube’ dan cangkolang jangan langsung digantikan, apalagi dibuang. Keduanya memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan dan kebudayaan di Madura. Bolehlah, bahkan haruslah menjadi alim dalam agama, tapi bukan berarti menolak budaya yang sama sekali tidak bertentangan. Bahkan, sebutan jube’ dan cangkolang, sering dipakai oleh kiai langgar dan pesantren di masa silam dan sebagian sampai sekarang, untuk mengajarkan moralitas kepada para santrinya.

Belakangan ini, gejala kebarat-baratan dan kearab-araban semakin menampakkan fenomena yang kasat mata, masif dan gesit. Keduanya ada bagian-bagian tertentu yang membantu, ada pula bagian lain yang sangat mengganggu terhadap keberlangsungan budaya Madura dengan segala kearifannya. Jube’ dan cangkolang, meskipun berangkat dari kearifan budaya, tetapi mengandung keluhuran agama. Namun keduanya sangat bertolakbelakang dengan budaya-budaya asing yang kebarat-baratan dan tak bermoral, namun hari ini banyak berseleweran di depan mata.

Ares Tengah, 11 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun