Oleh karena itu, bagi NU, tidak  ada alasan untuk menolaknya sepanjang Pancasila tidak  difungsikan untuk  mengganti kedudukan  agama,  termasuk dalam anggaran  dasar organisasinya.
Pada Munas Alim Ulama NU Â di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983 menghasilkan keputusan yang sangat menentukan perjalanan NU pada masa-masa selanjutnya, Â terutama terkait dengan masalah hubungan Islam dan Pancasila, yaitu:
pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama,  tidak dapat dapat menggantikan agama dan tidak  dapat dipergunakan untuk  menggantikan kedudukan agama.
Kedua, sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang  menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak (Bisri, 2009: xxx-i).
Sementara  Muhammadiyah  akhirnya juga menerima Pancasila dengan pertimbangan rasional  dan proses  yang demokratis.  Amien  Rais, tokoh  intelektual  Muhammadiyah,  menganalogikan penerimaan Pancasila  dengan kepemilikan "tiket" untuk  memasuki "bus" yang  bernama  "Indonesia".  Selain itu,  proses demokratis  dilalui  dengan, pertama-tama,  para pemimpin Muhammadiyah mendiskusikan hal itu hingga mencapai konsesus untuk menerima  azas  Pancasila.Â
Selanjutnya, hasil konsesus  tersebut disosialiasikan  kepada  pimpinan  Muhammadiyah di daerah,  hingga akhirnya  keputusan tersebut  didukung secara aklamasi dan  disahkan dalam  Mukatamar Muhammadiyah di Solo pada  1985 (Pranowo, 1992:  10). Â
Diakui  Bambang  Pranowo (1992:  14),  penerimaan kalangan Islam  terhadap Pancasila sebagai satu-satunya azas ini masih menyisakan  pertanyaan apakah bisa  dimaknai sebagai tanda telah berakhirnya ideologi politik  Islam  di Indonesia?. Â
Menjawab pertanyaan ini Pranowo  membedakan jawabannya  ke dalam dua konteks, pertama,  jika yang dimaksud adalah ideologi politik Islam seperti yang  diperjuangkan Masyumi pada tahun 1950-an, maka hal itu telah berakhir pada 1959 dengan ditetapkannya kembali  kepada UUD 1945.