Mohon tunggu...
syarifah najwa
syarifah najwa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Media

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai-Nilai Sejarah & Budaya Busana Pengantin Leluhur Sumedang

14 November 2023   11:54 Diperbarui: 14 November 2023   11:59 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan merupakan salah satu peristiwa besar dan penting dalam sejarah kehidupan seseorang, suatu peristiwa yang tak dilewatkan orang begitu saja sebagaimana mereka menghadapi peristiwa sehari-hari. Dalam perayaan pernikahan, busana pengantin memiliki peran yang sangat khusus. Busana pengantin tidak hanya sekedar pakaian, melainkan juga mencerminkan identitas budaya, nilai-nilai tradisional, dan sejarah suatu daerah. Dalam setiap detailnya, seperti motif, warna, hingga bahan yang digunakan, busana pengantin membawa pesan yang mendalam tentang kekayaan budaya masyarakat tersebut.

Artikel ini akan menggali dalam sejarah dari busana pengantin tradisional asal Sumedang dan mengeksplorasi nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam busana tersebut. Kajian ini bukan hanya akan memperkaya pengetahuan tentang busana pengantin tradisional, tetapi juga membantu memahami bagaimana warisan budaya kita terus hidup dan berkembang dalam pernikahan masa kini.

Busana Pengantin Leluhur Sumedang

Pakaian adat pengantin Sumedang awalnya digunakan oleh golongan bangsawan, seperti Bupati Sumedang dan kerabatnya, yang memahkotai diri mereka dengan keindahan pakaian ini. Busana pengantin leluhur Sumedang ini, identik dengan Mahkota yang dinamakan Binoka Sri/Binokasih yang dibuat oleh Sanghyang Bunisora Suradipati dan Model busana ini meniru prabu Niskala Wastukancana ketika dinobatkan Raja Sunda pasa tahun 1371, yang mencerminkan hubungan erat antara pemerintahan Sumedang dan Galuh pada masa lalu. Pakaian ini bukan hanya pakaian biasa, melainkan simbol sakral yang mengandung makna mendalam.

Setiap elemen dalam busana pengantin Sumedang memiliki nilai-nilai sejarah dan warisan budaya yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ini mencerminkan citra seorang pemimpin yang diharapkan mampu membimbing keluarganya dalam segala hal, memiliki tujuan yang jelas, dan memberikan manfaat bagi orang lain, sebagaimana mestinya seorang raja.

Penggunaan siger oleh pengantin perempuan, daun yang melambangkan kelembutan, kebijaksanaan, dan peran seorang ratu yang sejajar dengan seorang raja dalam pernikahan. Bahkan, pemakaian siger harus diukur dengan presisi, dengan satu jempol di atas alis, untuk menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Pesan yang diungkapkan oleh busana pengantin Sumedang adalah tentang persatuan, keseimbangan, dan harmoni antara pasangan yang akan menikah. Mereka diharapkan untuk menjadi pasangan sejati yang saling mendukung dalam perjalanan kehidupan, tanpa ada satu pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Pakaian adat pengantin Sumedang, selain fungsi ritualnya, juga berperan sebagai sarana komunikasi yang kuat dalam pernikahan. Setiap detail, corak, dan warna pakaian mengandung makna yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan tradisi adat yang masih dijaga hingga kini. Pakaian adat ini menjadi simbol sakral yang menghubungkan pengantin dengan nilai-nilai sejarah dan budaya yang luhur.

Nilai-nilai budaya yang diwariskan melalui pakaian adat pengantin Sumedang adalah bagian integral dari warisan budaya masyarakat Sumedang. Detail-detail dalam busana ini melambangkan kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Identitas pengantin Sumedang ditandai oleh mahkota Binokasih dan Binokasri yang unik. Upaya untuk mempertahankan identitas ini termasuk dalam proses verifikasi keturunan Kerajaan Sumedanglarang, yang dilakukan oleh Museum Prabu Geusan Ulun, sebagai generasi penerus kerajaan ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran nilai kebangsawanan dalam penggunaan Mahkota Binokasih. Pergeseran ini terlihat dari dokumentasi pernikahan Kebesaran Sumedang pada tahun 1970-an. Perubahan tersebut mencakup siapa yang berhak mengenakan mahkota, antara bangsawan dan bukan bangsawan. Bahkan, penggunaan Mahkota Binokasih yang asli mulai digantikan oleh replika. Perubahan ini dilakukan oleh pihak museum untuk menjaga keutuhan bentuk elemen mahkota yang semula terbuat dari emas. Dari segi nilai kebangsawanan, calon pengantin Kebesaran Sumedang tidak lagi diwajibkan untuk kedua mempelai. Artinya, apabila salah satu pihak merupakan keturunan menak, hal tersebut tidak lagi menjadi masalah, dan pernikahan tetap dapat dilaksanakan dengan menggunakan Mahkota Binokasih.

Hal ini mencerminkan adaptabilitas budaya dalam menghadapi perubahan sosial yang relevan dengan nilai-nilai masa kini. Busana pengantin Sumedang dengan mahkotanya menjadi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana budaya dan identitas dapat berkembang sambil tetap mempertahankan akar budaya yang kuat. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa budaya adalah sesuatu yang hidup, dan dapat bertransformasi untuk tetap relevan dalam konteks zaman yang terus berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun