bagian kesepuluhÂ
Alhamdulillah, mungkin kata itu jarang sekali keluar dari mulutku. Namun kini aku rasakan betapa kemudahan tengah menghampiri kami. Tetapi kemudahan itu yang justru kusesali, karena kenyataan pahit harus datang lebih cepat.
Pada awalnya, kami berobat dan berupaya mendatangi dokter syaraf di RS Pusat Otak Nasional (PON) untuk mendapatkan rekomendasi atau rujukan untuk melakukan Magnetic Resonancing Imaging (MRI). Namun hampir dua bulan kami jalani itu, yang kami dapat hanya pertemuan dengan dokter, sementara jadwal melakukan MRI selalu tertolak.
Seringkali aku menatap istriku yang sudah bersusah payah menahan sakitnya menjalani itu. Kami memulai perjalan ke RS PON sejak pagi-pagi sekali, dan betapa beratnya istriku menyiapkan diri, kemudian harus melewati perjalanan yang cukup mengkhawatirkan, hingga antre berjam-jam di RS PON yang pada waktu itu sangat semrawut karena pembangunan jalan layang di depannya.
Demi mengurangi penderitaan istriku, kami putuskan untuk pindah ke rumah sakit yang lebih dekat dengan lokasi rumah di Cengkareng: RS Mitra Keluarga Kalideres. Kami harus bersyukur karena keputusan itu sepertinya tepat. Proses yang kami harus jalani dua bulan di RS sebelumnya, bisa kami tuntaskan selama dua pekan di RS baru. Bahkan sepanjang itu istriku sudah bisa menjalani dua kali MRI. Meski salah satunya kami lakukan dengan mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, alih-alih dari dana BPJS.
Namun kemudahan menjalani pengobatan berbanding lurus dengan kecepatan kami mendapatkan informasi. Melalui hasil MRI kedua yang dilakukan di bagian punggung sampai atas pinggang, ditemukan ada kelainan dalam tulang-tulang istriku. Beberapa di antaranya dikatakan dokter sudah remuk (dokter menunjukkan dan menjelaskan gambarnya kepadaku).Â
Tetapi bukan hal itu yang mengejutkan dan membuatku syok. Informasi lanjutan dari dokter yang sama mengatakan bahwa ada indikasi kemunculan kanker di tubuh istriku. Keterangan itu membuat getar dalam hatiku menyeruak tiba-tiba dengan guncangan yang merebak ke seluruh tubuh. Airmata yang seperti memaksa ingin luruh masih bisa kutahan meski kedua mataku tetap saja terlihat berkaca-kaca. Mama tentu tidak bisa menahan diri untuk menangis, sambil memegang kepala istriku kudengar dia berbisik, "Sabar ya Inang, insyaAllah semua penyakit ada obatnya." Sementara aku hanya berkata Innalillahi wa inna ilayhi rajiun, dalam hati.Â
Dokter saraf kemudian merujuk kami untuk menemui dokter penyakit dalam untuk mengetahui benar tidaknya kesimpulannya itu. Sambil menunggu waktu pertemuan dengan dokter dimaksud, aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan dia keliru, mudahan-mudahan ini hanya informasi yang tertukar. Jikapun iya mudah-mudahan Allah beri mukjizat jalan keluar yang membuat penyakitnya tiba-tiba saja sirna.Â
11 Mei 2021
Tibalah saat kami menjalani jadwal konsultasi kepada dokter penyakit dalam, seperti yang sudah direkomendasikan oleh dokter syaraf sebelumnya. Aku, hari itu, berangkat terlebih dahulu ke RS untuk mendaftar. Namun sesampainya di RS aku harus menerima kenyataan bahwa pendaftaran harus dilakukan melalui online lewat WA. Maka aku yang tidak melakukan pendaftaran via WA sebelumnya harus menjalani proses yang lebih panjang. Aku menuju meja pendaftaran dan perempuan petugas di sana bilang bahwa kuota pasien hari itu sudah penuh, "Bapak seharusnya mendaftar lewat whatsapp,", katanya sambil memberikan nomor yang bisa dihubungi. Aku sadar bahwa jika memutuskan menggunakan jalur BPJS maka kita memang harus siap bersaing dengan ratusan orang lainnya di saat yang sama yang juga ingin mendapatkan pengobatan.
Langsung saja aku menghubungi rumah, dan memberitahukan hal  itu. Memikirkan kesedihan istriku dalam menjalani pengobatan ini, aku kemudian memutuskan untuk mendaftar lewat jalur umum alias yang harus membayar langsung dengan dana pribadi. Ternyata prosesnya singkat saja, tidak berapa lama aku sudah mendapatkan nomor antrian untuk menemui dokter. Aku kembali menghubungi istriku di rumah untuk segera berangkat ke RS.