Bagian enam
Besoknya kami memutuskan untuk menemui dokter untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Istriku ikut serta dengan membawa rasa sakitnya yang masih menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Dilihat dari rontgen, sebenarnya tidak ada yang salah pada tulang ibu. Namun karena ibu merasa sakit, saya hanya bisa merekomendasikan untuk segera menemui dokter saraf dan melakukan MRI. Di rumah sakit ini tidak ada, jadi saya rekomendasikan ke rumah sakit yang lebih besar."Â
Itulah jawaban dari dokter bagian tulang di RS Ali Shibroh yang kami datangi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan adalah sebuah tindakan medis dimana pasien harus melewati sebuah alat untuk mendapatkan gambaran pencitraan bagian badan yang diambil dengan menggunakan daya magnet kuat yang mengelilingi anggota badannya.
Selepas mendapat pesan itu kami meninggalkan RS dan kembali ke rumah. Namun malamnya istri saya mengatakan bahwa dia ingin berada di rumah mamanya di Cengkareng. Aku mengabulkan keinginan itu, tentunya  demi memulihkan kondisinya sambil mencari rumah sakit yang memiliki fasilitas MRI.
Diputuskan untuk mendatangi RS Pusat Pertamina. Dengan kondisi sakit yang masih  menyengat istriku, kami pergi ke RS tersebut dan langsung menuju bagian saraf. Karena untuk melakukan MRI kami harus mendapat rekomendasi atau rujukan dari dokter terkait.
Setelah menceritakan panjang lebar kisah rasa sakit yang dialami istriku, tidak disangka, sang dokter yang perempuan itu, tidak langsung menyarankan untuk MRI.Â
"Coba gerakkan jemari kamu," perintah dokter itu kepada istri saya yang sontak dipenuhi dengan menggerakan jari-jari di kedua tangannya.Â
"Bagus," responnya, "coba sekarang jari kaki,".Â
Melihat keadaan istri saya yang dinilainya normal, diapun kembali ke kursinya. Sambil memandang istriku dokter itu melanjutkan.Â
"Kamu mau ngapain (menjalani) MRI? Mau habis-habisan?"Â
Pertanyaan yang kemudian langsung dijawabnya dengan pertanyaan lanjutan yang juga merupakan jawaban itu, mengejutkan kami. Setahu kami, lazimnya dokter cenderung untuk merekomendasikan pasien menggunakan fasilitas rumah sakit tempatnya bekerja karena ada transaksi dan tambahan pembayaran di sana. Sehingga tentu saja ada pendapatan baru dari rumah sakit. Tapi ini tidak. Hal ini tentu mengagetkan sekaligus menimbulkan rasa kagum saya kepada dokter itu.
Selanjutnya, alih-alih berbicara penyembuhan dengan obat dan fasilitas yang dimiliki RS itu, perempuan berjilbab berusia sekitar 50-an tahun itu malah berbicara banyak mengenai pengalamannya menjalani shalat, yang menurut dia adalah pengobatan untuk penyakit syaraf yang sangat manjur. Untuk meyakinkan kami, bahkan berkali-kali dia dengan wajah ramah namun tegas, Â mencontohkan gerakan ruku' dan sujud yang disebutnya solusi penyakit yang diderita istri saya. Berkali-kali, sambil melakukan gerakan itu, jarinya sering menunjuk atau menyentuh bagian belakang tubuhnya, tepat di tengah pinggang.
Pada akhir pertemuan, meski begitu, dia tetap memberikan surat rujukan jika kami bersikeras tetap ingin melakukan MRI. Malahan dia juga menambahkan surat rujukan jika kami ingin mengikuti fisioterapi yang ada di RS itu. Tetapi dia tetap menekankan agar kami melakukan terapi di rumah. "Kamu bedrest saja, dan beli alat terapi yang dilibat di pinggang," kata dia sambil meresepkan obat pereda rasa sakit kepada istri saya.
Saya yang mendampinginya tetap tertegun dan tidak bisa menahan rasa kagum. Selain menyimpulkan bahwa masih ada dokter yang seperti itu, saya bersyukur karena kami diberikan jalan sehingga tidak harus MRI. Sebagai pegawai biasa, ongkos MRI yang setelah saya telusuri di mesin pencari di Internet berkisar di angka Rp5 juta sampai Rp10 juta tentu bukan ongkos yang ringan.
Kami pun pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya mulutku merapal doa-doa yang bisa aku ucapkan, sambil sesekali memandangi wajahnya. Semoga jalan ikhtiar yang kami lewati ini menjadi jalur penyembuhannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI