(bagian kedua)
Kehidupan kami boleh dibilang sudah mulai stabil. Setelah memastikan akan menikah, aku memutuskan untuk resign dari perusahaan penerbit surat kabar yang aku -kalau boleh menyebut- ikut serta dalam proses kelahirannya. Ya, aku bergabung di koran itu sekitar setahun menjelang ia terbit pertama kali. Sebelum itu aku sudah bekerja di sebuah koran ekonomi -kalau boleh dibilang tertua di Indonesia. Sekitar dua tahun di koran ekonomi itu, pada 2007 aku memutuskan untuk menyeberang ke koran umum yang saat itu siap untuk meluncur, dan katanya ingin bersaing dengan Kompas, Republika, atau Media Indonesia yang sudah lebih dulu menancapkan citra di benak pembaca di Indonesia.
Tiga tahun aku di koran yang berkantor di kawasan elit Jakarta itu. Pada Juni 2010 atau sebulan setelah menikah, aku resmi berhenti dan pindah kantor. Masih di lingkungan media, namun kini adalah sebuah majalah yang jadwal terbitnya bulanan. Karena hanya satu kali terbit dalam sebulan, aku memiliki waktu libur lebih panjang, sesuatu yang tidak pernah aku nikmati saat masih bekerja di koran. Karena harus terbit setiap hari maka akhir pekan semua kru redaksi edisi reguler harus tetap masuk kantor. Libur di hari Sabtu, namun itu pun seringkali terpakai untuk liputan.
Posisiku di kantor baru, cukup memberikanku penghasilan yang bisa membuat kami melangsungkan hidup tanpa harus berutang. Meski begitu cicilan rumah dan juga pengeluaran rutin, ditambah kebutuhan tidak terduga, kerap membuat istriku harus berakrobat mengatur keuangan kami.
Ya, tiga tahun berjalan setelah menikah, aku memberanikan diri untuk membeli rumah dengan cara mencicil kepada sebuah bank. Rumah itu adalah bangunan sederhana dengan luas sekira 80 meter persegi, yang tiga perempatnya sudah menjadi bangunan. Saat itu menjelang akhir tahun 2013. Anak kedua kami baru berumur 7 bulan.Â
Kami memiliki dua jagoan yang sudah mulai bersekolah. Situasi itu juga yang membuat pengeluaran bulanan kami bertambah besar. Namun aku dan istriku bertekad untuk selalu mencukupkan apa yang aku dapat dari gaji bulanan, dan menyingkirkan pikiran untuk berutang. Memang beberapa kali kami gagal, namun jika dihitung rentang waktu sejak kami menikah tahun 2010 kegagalan itu hanya margin error yang tidak signifikan.
Harus diakui, pengeluaran selalu berbanding lurus dengan pemasukan. Dulu kami masih bisa menabung dan memberi hadiah sekadarnya kepada orang tua kami. Pengeluaran kami waktu itu memang masih semenjana, karena belum harus menyisakan uang untuk mencicil rumah.
Sebelum pindah ke rumah yang berlokasi di Depok itu, kami sempat mencoba menyewa kamar di sebuah apartemen -lebih tepatnya rumah susun sederhana milik dan sewa (rusunami/ rusunawa). Keputusan itu terjadi setelah saya dan istri menjalani tiga bulan penuh madu. Pindah pertama kali dari rumah orang tuanya pasca menikah memang tidak mudah. Ada drama yang harus saya lewati.Â
Awalnya kami mencari-cari kontrakan dan juga rumah sewa yang terjangkau di sekitar rumah orang tua istriku di bilang Cengkareng Jakarta Barat. Kemudian sebuah ide muncul, kenapa tidak sewa apartemen saja. Kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah orang tuanya baru berdiri sebuah apartemen yang harga sewanya terjangkau. Kami menyebutnya apartemen, tetapi banyak yang menyebutnya rusunami/ rusunawa. Lokasinya masuk kawasan Kapuk, tidak jauh dari Rumah Sakit umum Daerah Cengkareng, beberapa kilometer dari rumah orang tua istriku.
Kami mendapat 1 unit apartemen yang disewakan seharga Rp8 juta setahun. Dengan fasilitas 2 kamar, 1 kamar mandi, dan 1 ruang utama yang tergabung dengan dapur, kami merasa hal itu sudah cukup layak. Namun karena aku tidak memiliki uang tunai sejumlah itu, aku memutuskan untuk meminjam dari seorang teman, dan berjanji akan mencicilnya Rp1 juta selama 8 kali.
Seingatku itu adalah hal paling memalukan dalam hidupku. Bagaimana tidak, pada saat meminjam dengan seorang teman yang sudah cukup ku kenal, boleh dibilang cukup dekat, sepertinya ada rasa ketidakpercayaan pada dirinya bahwa aku mampu membayar atau melunasinya. Pertanda itulah yang menyergap pikiranku saat itu. Memang berutang adalah hal yang membuat orang bisa berubah. Pikiran itu bukan untuk menyerang temanku itu, tapi sebagai pengingat pada diri sendiri bahwa berutang akan membuat posisi seseorang turun di hadapan orang yang mengutangi.