bagian pertama
Menjelang pagi pada hari itu, sebenarnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Sehabis sholat shubuh kami berdua berbincang santai mengenai anak-anak, mengenai kemarin, mengenai rencana hari itu. Tidak ada yang istimewa. Dia masih mengenakan mukena, yang warna putihnya sudah mulai tergerogoti waktu, karena seringnya dipakai. Aku masih terbungkus sarung, dan baju koko, hanya peci yang tidak kupakai.
Di atas sofa kuning --yang juga bisa dijadikan tempat tidur jika sandarannya direbahkan, kami mengobrol, berbincang. Kadang-kadang anak-anak juga ikut nimbrung.
Sofa itu, aku masih ingat ketika kami membelinya di sebuah toko furnitur di pusat kota Depok, yang pada dekade itu sedang naik daun. Sebelum memutuskan membelinya, sempat ada perbincangan soal warna (bagiku kuning akan membuatnya lebih cepat kotor, tapi buat istriku itu warna yang sejuk sekaligus mewah). Akhirnya kami sepakat memilih kuning.
Di tengah obrolan menjelang fajar itu, tiba-tiba dia berteriak kesakitan. Dia histeris. Mulutnya melontarkan jeritan namun badannya tidak bergerak. Suara teriakannya memberi tanda bahwa sakit yang sedang menyerangnya bukanlah sakit biasa. Bukan sakit  yang bisa ditanggung seorang perempuan. Tubuhnya tegang, kaku. Dia benar-benar tidak bergerak, tidak mau bergerak tepatnya. Sesedikit apapun gerakan yang dibuatnya, sakit yang sangat akan langsung menyergap dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Itu yang dia katakan padaku setengah berteriak.
Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi. Sepersekian menit aku seolah tidak mampu berbuat apa-apa. Situasi ini bukanlah situasi yang sering aku hadapi. Setelah melewati fase kebingunganku, sontak aku berupaya untuk memeluknya. Tetapi begitu tanganku menempel di tubuhnya, bukan kenyamanan dan ketenangan yang dia dapati. Perempuan berusia 37 tahun itu langsung berteriak keras. Teriakan yang diselimuti oleh gemetar tubuh yang menahan sakit begitu jelas terdengar.Â
"Jangan dipegang... jangan dipegang," teriaknya dengan suara bergetar.
Awalnya aku sedikit marah karena merasa pertolonganku ditolak, namun setelah beberapa kali aku melakukan hal itu dan hasilnya tetap sama, yang muncul kembali kemudian adalah kebingungan.Â
Aku ragu untuk menoleh ke luar, menyibak tirai coklat yang menutupi jendela rumah untuk memastikan kalau-kalau ada orang yang bisa kumintai tolong. Alih-alih, yang aku lakukan adalah meminta dia untuk menahan teriakannya, khawatir tetangga mendengar dan langsung mendatangi rumah kami, menyangka bahwa kami berdua sedang bertengkar. Padahal hari itu masih bayi, matahari belum lagi menampakkan diri.
Obrolan kami di pagi yang syahdu itu berubah menjadi ketegangan yang diisi oleh teriakannya dan kebingunganku. Beberapa saat aku terus berusaha melewati situasi itu sambil terus berpikir bagaimana merebahkan tubuhnya ke sofa atau ke lantai. Sambil terus menatapnya yang masih diselubungi kesakitan, aku terus mencoba mencari jalan agar dia bisa terbebas dari siksaan itu. Tubuhnya kaku seperti kayu. Kepalanya menempel di sandaran sofa. Kakinya meregang ke lantai. Punggungnya tidak menempel di sofa.
Kini kebingungannku mulai bercampur dengan kepanikan, tetapi aku tidak ingin menampakkannya kepada istriku. Dan mungkin dia paham apa yang ada di pikiranku. Setidaknya aku berharap demikian.