Aku bangun tepat bersama dengan dikumandangkannya adzan subuh. Sangat lembut terasa alunan adzan yang dilantunkan muadzin di Masjid sebelah, sesejuk udara pagi dengan embun yang masih menggantung di pucuk-pucuk daun. Kuambil air wudlu yang menyegarkan wajahku, kulihat temanku masih tertidur seperti biasa. Aku langsung pergi ke Masjid di samping kos untuk shalat jamaah. Sengaja aku tidak membangunkan Darmin karena kuyakin dia tidak akan mau bangun, dan aku sudah bosan untuk kecewa dan capek-capek membangunkannya, mending hemat energi buat kegiatan yang lebih pasti dan bermanfaat.
Sepulang dari Masjid aku sempatkan membaca Kitab Suci walaupun hanya beberapa ayat saja. Pukul lima lebih seperempat kucoba mengguncang tubuh Darmin, namun seperti biasa, dia tidak bergeming. Aku tahu pasti dia tidak akan bangun, karena dia tidak punya jadwal kuliah pagi hari ini. Setidaknya aku telah melaksanakan kewajibanku untuk membangunkannya agar melaksanakan shalat. Aku ingat ustadzku dulu pernah berkata,
"Ketika ada seseorang yang tertidur dan belum shalat, maka kewajiban orang yang tahu untuk membangunkannya." Aku ingat betul kata-katanya, dan sekarang benar-benar menjadi kenyataan bagiku untuk setiap pagi melakukan kewajiban itu. Namun sayang sekali, aku jarang sekali berhasil membuat Darmin bangun untuk mau melakukan shalat.
"Min, apakah kamu tidak pusing tidur lama-lama?" tanyaku suatu saat.
"Biasa saja. Hidup itu jangan ngoyo. Ngantuk ya tidur, lapar ya makan, hidup harus dinikmati Bung." Darmin menjawab dengan enteng saja.
"Iya, tapi bukan berarti kamu boleh meninggalkan kewajiban shalatmu sebagai muslim," selaku dengan berharap dia mau sadar.
"Lho, katanya kalau orang tidur tidak wajib melakukan shalat, malah kamu sendiri yang bilang seperti itu." Darmin mencoba berkelit. Aku sudah males untuk memberinya pengertian lebih lanjut, karena dia pasti akan ngeloyor pergi tanda ketidaksukaannya.
***
Katika aku pulang dari kampus, kujumpai Darmin baru saja bangun dari tidurnya, rambut dan tempat tidurnya masih acak-acakan. Aku acuh saja, dan setlah berganti baju, ku baringkan tubuhku. Aku butuh istirahat setelah setengah hari sibuk di kampus mempersiapkan acara bazaar. Aku malas untuk menyuruh Darmin segera shalat, karena aku lagi pingin istirahat, tidak untuk berdebat. Dia selalu punya dalih-dalih yang rasional untuk mengalahkan argumentasiku dalam hal tidurnya jika dikaitkan dengan shalat. Terpaksa aku sering mengalah daripada harus terus berdebat yang bisa membawa pertengkaran.
"Man, kamu percaya enggak dengan mimpi?" aku sempai heran dengan pertanyaan Darmin saat itu.
"Ah, itukan Cuma kembang tidur saja, emangnya kamu mimpi apa?" aku balik bertanya.