Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Awas! Ora Elok, Nanti Kualat!

27 Juli 2020   12:16 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:19 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah kualat pasti tidak asing lagi bagi kita semua, apalagi yang berasal atau tinggal di Jawa. Kualat sendiri dalam beberapa kamus yang ditelusuri tidak memberikan jawaban yang pasti. 

Hanya saja kualat dapat diartikan mendapat akibat buruk dari apa yang telah kita lakukan karena melanggar suatu aturan norma tertentu. Apakah karena bohong, tidak sopan kepada orang tua, mengumpat, sampai-sampai sering pula dikaitkan dengan perbuatan tidak baik kepada lingkungan dan mahluk halus. Sehingga kualat juga kadang dipahami balasan yang dilakukan oleh alam maupun mahluk halus kepada manusia karena telah diganggu atau telah dibuat tidak senang.

Ungkapan kualat itu lebih sering kita dengar pada masa dahulu. Ketika para orang tua kita sering melarang anak-anaknya melakukan ini itu, dengan tanpa penjelasan, ancaman kualat seperti sudah bisa mewakili apa yang harus dijelaskan. 

Kata kualat itu sering dipakai melekat dengan satu gabungan kata lainnya yaitu "ora elok", berasal dari bahasa jawa ora elok, yang berarti tidak baik. 

Seorang anak yang duduk ditengah pintu akan segera dilarang orang tuanya, "Jangan duduk ditengah pintu, ora ilok, nanti kualat kamu!" Mendengar peringatan kualat, bagi anak-anak sudah memberikan satu gambaran mengerikan tersendiri, sehingga akhirnya mereka turut apa kata oang tua.

Kata kualat sendiri tidak memiliki satu pengertian utuh, sehingga sering dianggap sebagai mitos. Apalagi saat ini, dimana bukti ilmiah menjadi satu standar kebenaran, kata kualat yang tidak memiliki penjelasan ilmiah seringkali dikatakan sebagai mitos orang dahulu atau nenek moyang.

Namun apakah semua perbuatan yang dianggap ora ilok, dan diancam dengan kualat adalah mitos belaka? Ternyata jika kita mau menelusuri maksud dibalik uangkapan itu, mengapa dilekatkan pada suatu perbuatan, dapat kita temukan penjelasan yang masuk akal.

Mengapa Tidak Elok?

Pernahkah kita berpikir mengapa sesuatu itu dianggap tidak elok, alias tidak baik oleh para orang tua kita? Atau kita hanya mengiyakan atau bahkan menolaknya mentah-mentah bahkan menilai itu semua hanya tahayul belaka?

Orang jawa mungkin adalah orang yang paling banyak memiliki ungkapan unggah-ungguh (sopan santun) dan simbol. Hampir semua tindakan yang dilakukan selalu di dasarkan pada prinsip menghormati dan menghargai, jangan sampai menyakiti perasaan orang lain. Sehingga mereka membuat semacam satu tatanan norma yang sangat ketat. 

Bukan saja kepada sesama manusia, kepada binatang, tumbuhan, bahkan mahluk halus sekalipun. Misal, dalam hari-hari tertentu, seperti selasa, jumat dan sabtu, tidak boleh menebang pohon. Jika tetap menebang pohon bisa kualat.

Selain itu, dalam setiap bentuk laku tindakan mereka, banyak sekali mengandung simbol yang berarti pengharapan dan doa. Misal seorang dalam dekorasi pernikahan, dapat dipastikan memakai janur, yaitu dau kelapa yang masih muda, kemudian dilengkapi pisang raja, dan juga kelapa gading. 

Dekorasi itu, tidak semata menjadi syarat keindahan dalam resepsi pernikahan, namun juga berarti doa dan harapan, agar pasangan pengantin dikaruniai kesuburan layaknya janur yang kemuning, banyak anak yang rupawan seperti kelapa gading, dan memberikan manfaat keberkahan yang besar bagi lingkungan, seperti pisang raja yang enak rasanya.

Alih generasi ke generasi, tidak selalu diikuti dengan transformasi atau penyampaian budaya yang utuh, sehingga sampailah pada masa sekarang, ikatan-ikatan norma yang dahulu dibangun, menjadi semacam hanya mitos yang dibalut dengan kata ora ilok dan ancaman kualat. 

Para orang tua kita tidak telaten untuk menceritakan arti di balik setiap perilaku-perilaku itu. Sebagai anak, kadang juga tidak ada terbersit kehendak hati untuk bertanya. Jadilah, rangkaian ikatan norma yang dibangun sedemikian luhur hanya menjadi mitos semata bagi anak-anak masa kini.

Batasan dengan Tahayul

Istilah ora ilok maupun kualat saat ini banyak dikaitkan dengan tahayul dan hal-hal yang tidak masuk akal. Sehingga banyak  ahli agama memperingatkan untuk berhati-hati karena bisa membahayakan iman dan akidah seseorang. 

Misalkan tidak boleh menebang kayu sembarangan, seringkali dikaitkan dengan makhluk halus yang ada tinggal bersemayam di pohon tertentu. Sehingga yang terjadi adalah orang datang membawa sesaji yang berupa makanan dan sebagainya sebagai prasarat. Inilah yang kemudian ditakutkan akan menjebak umat pada kesyirikan.

Namun ada saja orang yang memberikan penilaian berbeda. Memberikan sesaji sebelum sebuah pohon ditebang, bukan berarti syirik, akan tetapi bentuk etika manusia kepada makhluk lain yang barangkali saja bertempat tinggal di pohon tersebut. Sehingga sesaji itu bukan dalam bentuk persembahan atau mengabdi, namun sebagai wujud etika semata.

Jika dihadapkan pada kondisi seperti di atas, tentunya akan timbul pertanyaan, dimanakah sebenarnya batas suatu perilaku itu bisa disebut mitos dan tahayul yang berakibat syirik, dan mana yang bukan. 

Untuk menjawab ini, orang sering menganalogikan kepada obat. Obat yang berasal dari dukun, kemudian seringkali dianggap sebagai mitos, tahayul dan syirik, sedangkan obat yang diberikan dokter adalah bukan syirik, karena ada kajian secara ilmiah. Namun apakah syirik itu berarti tidak ilmiah, dan yang ilmiah itu tidak syirik? Coba kita cari batasan yang lebih jelas.

Syirik itu dapat diartikan sebagai perbuatan hati yang mendudukkan selain Allah menjadi Tuhan yang disembah, ditaati, dan dimintai pertolongan bersama dengan Allah. Sehingga apapun perbuatan manusia yang mnyekutukan Allah dalam kedudukannya sebagai sesembahan dan tempat pertolongan, maka dapat disebut sebagai syirik. Jadi syirik itu terkait dengan keimanan seseorang kepada Allah, bukan pada masalah rasional dan tidak rasional.

Untuk mengurai perdebatan mengenai obat, dapat kita runut sebuah riwayat mengenai Nabi Musa. Suatu ketika Nabi Musa sakit perut ketika sedang memimpin rombongannya. Karena terlalu sakit maka beliau berdoa kepada Allah untuk diberikan kesembuhan. 

Kemudian Allah menfirmankan kepadanya untuk naik sebuah bukit dan mengambil beberapa lembar daun tertentu untuk dimakan. Nabi Musa kemudian lari keatas bukit, dan belum sampai menemukan daun yang diperintahkan, perut Nabi Musa sudah sembuh. Beliau kemudian turun dan melanjutkan perjalanan.

Namun keesokan harinya sakit perutnya kambuh lagi, kemudian dia teringat dengan firman Allah yang lalu. Maka larilah Nabi Musa ke atas bukit dan mencari daun yang diperintahkan kemarin. Setelah ditemukan, dimakannya berlembar-lembar daun itu, namun sakit perutnya tak kunjung sembuh. 

Kemudian dia pun mengadu kepada Allah, mengapa sakit perutnya tak kunjung sembuh. Allahpun kemudian menegurnya, bahwa tidak ada yang menyatakan kalau daun bisa menyembuhkan, kemarin kamu sakit perut langsung mengadu kepadaKu, sekarang kamu sakit langsung mengambil daun itu tanpa menoleh sedikitpun kepadaKu. Padahal yang memeberikan kesembuhan itu bukan daun itu, tetapi Aku.  

Begitulah, jika kita memaksakan batasan syirik dengan sangat kaku, maka yang kita temukan justru kerancuan. Karena perilaku kadang tidak selalu sejalan dengan suara hati. Sedangkan syirik itu adalah sebuah penyakit hati, yang tahu hanyalah dia (si pelaku sendiri) dan Allah. Dalam hal obat, permasalahannya bukan pada obat yang ilmiah medis atau dari kewaskitaan dukun, namun pada sikap batin kita terhadap obat tersebut.

Bersikap Rasional

Sebisa mungkin kita harus berusaha untuk tidak larut dalam perbuatan yang syubhat, alias meragukan, yang dapat menggiring kita kepada perbuatan syirik. Karena syirik adalah satu kejahatan yang sangat besar dan diancam keras oleh Allah sendiri untuk tidak pernah akan mengampuninya.

Allah berfirman dengan sangat jelas, "Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar" (Q.S: Luqman: 13), kemudian Allah juga mengancam, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (Q.S. An-Nisaa': 48).

Perilaku kita mesti berusaha diarahkan untuk mendapat satu keyakinan tidak untuk menyekutukan Allah. Semua peristiwa alam yang ada di dunia ini bergerak sesuai dengan sunnatullah, hukum-hukum Allah, seperti air yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah, api berasa panas, jika tergores pisau kulit terasa sakit, untuk berpenghasilan harus bekerja, sampai peristiwa-peristiwa kecil mendetail bagaimana kondisi ketahanan tubuh dapat menangkal penyakit dan sebaliknya, yang kemudian diketemukan obatnya.

Banjir besar yang terjadi, juga bisa dimaknai sebagai sunnatullah. Ketika hutan sudah digunduli, mebang pohon sesuka hati sehingga resapan air tidak ada lagi, maka air yang turun langsung deras menerjang daerah-daerah yang lebih rendah. Hal ini kemudian disebut manusia sebagai bencana, padahal itu adalah sebuah sunnatullah yang niscaya terjadi jika prasyaratnya sudah lengkap. 

Dari sini, dengan meyakini adanya sunnatullah, tidak dapat dikategorikan sebagai Syirik, karena sejatinya kita mengimani ketentuan-ketentuan yang telah Allah janjikan. Inilap pula kualat yang disebutkan sebagai tahayul, sejatinya adalah sunnatullah yang tengah berjalan.

Dari sini, mari kita kembali pada masalah inti, bahwa perliku amaupun larangan yang kita anggap berbau mitos, mari kita rasionalisasikan, menyebandingkan dengan hukum alam atau sunnatullah. Karena pada dasarnya ada maksud dibalik setiap perintah dan larangan yang diberikan, sehingga kita tidak terjebak pada kesyirikan, karena mendasarkan perbuatan kepada hukum-hukum Allah yang niscaya terjadi.

Bagaimana itu dikaitkan kepada mahluk halus? Tidak semua orang bisa melihat dan memahami duni mahluk halus, namun kita harus mengimani bahwa dunia seperti itu ada. Sehingga ketika ada larangan-larangan tertentu yang dikaitkan dengan dunia gaib, sebaiknya kita hati-hati. 

Misalkan kita dilarang menebang pohon sembarangan, perlu ubo rampe atau prasarat yang harus disediakan, sikap kita sebaiknya adalah melihat itu sebagai sebuah etika semata, sebagai tata pergaulan yang tidak sepenuhnya kita pahami dengan para mahluk Allah. Jangan dipandang sebagai bentuk ketakutan kita kepada mahluk-mahluk gaib tersebut, yang akan mendatangkan madharat atau bahaya.

Allah sendiri memperingatkan, bahwa ketakutan kepada selain diriNya adalah dilarang, dan termasuk dalam salah satu bentuk syrik. "Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman" (Q.S. Ali Imran: 175).

Akhirnya, jangan mau kita menjadi orang yang rugi besar dengan menyekutukan Allah hanya karena tidak mampu kita memandang sesuatu dengan proporsional. Allah adalah diatas segala-galanya, sedangkan yang lain, adalah bergerak sebagaimana Allah kehendaki. Sehingga tidak sewajarnya jika kita menyamakan Allah dengan selain diriNya.

Dengan sikap rasional yang kita pegang, tidak perlu lagi hawatir dengan peringatan ora ilok dan ancaman kualat, karena semuanya berada dalam kendali Allah SWT. Jangan pernah bermain-main dengan syirik, Allah berfirman, "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan" (Q.S. Al-An'aam: 88). Jika amal kita sudah tidak dinilai apa-apa, lantas apa yang dapat kita andalkan?

Semoga kita bisa terhindar dari terbolak-baliknya hati karena ketakutan maupun karena rayuan dan godaan. (Syarif)

*Artikel pernah dipublikasikan dalam majalah PesanTrend Edisi 6 tahun I, Nop 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun