Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koordinat Kemuliaan

13 Juli 2020   05:13 Diperbarui: 13 Juli 2020   05:13 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam terminologi kehidupan ada kita kenal peristiwa yang sama tetapi disebut dengan istilah berbeda. Misal, peristiwa kematian. Ada yang disebut dengan khusnul khotimah ada su'ul khotimah. 

Ada yang menyebut mati konyol ada juga yang menyebut mati syahid. Ada yang menyebut dengan istilah tewas atau mampus, ada juga yang menyebutnya dengan istilah wafat. 

Peristiwanya sama, yaitu terpisahnya nyawa dari raga, namun memiliki istilah beraneka macam. Semua itu tergantung dari nilai kemuliaan dalam proses atau kondisi subjek yang mengalami peristiwa tersebut. Jika orang meninggal dalam keadaan berjihad, maka dia disebut mati syahid, jika dia meninggal dalam keadaan bunuh diri, itu mati konyol namanya. 

Begitu pula, jika yang meninggal adalah seorang ahli ibadah, orang menyebutnya khusnul khotimah atau kematian yang baik, sedangkan jika seorang itu adalah seorang bajingan, dengan mudah orang menyebutnya sebagai su'ul khotimah atau kematian yang buruk. Istilah yang digunakan juga menunjukkan subjek, jika seorang kiai itu disebut wafat, maka seorang bromo corah itu mampus namanya.

Tentu kita hendak mencapai kondisi dimana hanya istilah yang baik yang akan disandangkan pada diri kita, minimal tidak dengan sebutan yang buruk. Berbagai upaya kita lakukan untuk mendapatkan posisi terhormat dan menjadi mulia karenanya. Ada beberapa rumus kemuliaan yang ditawarkan, tergantung konsep atau perspektif apa yang digunakan. 

Jika perspektif yang digunakan adalah perspektif material, maka kehormatan atau kemuliaan bisa dicapai dengan mudah, cukup anda memiliki banyak uang dan kedudukan tinggi, maka anda menjadi mulia karenanya. 

Dan ini tampaknya tidak perlu kita perdebatkan. Bahkan kadang, nama orang sudah tidak perlu disebutkan untuk dihormati dalam sebuah pertemuan, cukup disebut kedudukannya saja. Misal, kecukupan untuk menyebut "Yang Terhormat, Bpk Bupati", atau "Bpk Camat", atua "Bpk Lurah" dan sebagainya. Jadi, begitu anda menjadi orang kaya, atau berkedudukan tinggi, maka mulia dan terhormatlah anda. Namun, itu sangat bersifat materil. 

Sangat sementara, begitu harta anda lenyap, dan kedudukan anda lepas, maka anda tidak lagi dihargai. Anda menjadi "orang biasa-biasa saja", yang jika anda tidak kuat mental, bisa saja anda justru goncang dan gila karena menderita "post power syndrome", menderita karena merasa dunia adalah milik anda, padahal kenyataannya anda tidak memiliki apapun saja melainkan hanya titipan dan sebatas pengelola saja, yang pada akhirnya selalu bergantian.

Boleh dikatakan bahwa perspektif material adalah semu. Kemuliaan atau kehormatan yang kita sandang bersifat sementara. Maka kita harus menemukan perspektif yang bersifat nilai yang lebih transenden, yang lebih bertahan lama, jika mungkin untuk selamanya. 

Jika kita hendak menggantungkan pada nilai sosial budaya tradisi masyarakat maka relatif tentu saja. satu-satunya nilai yang abadi adalah nilai yang disematkan oleh Sang Maha Abadi. 

Nilai agama tidak akan lekang oleh masa. Meski perubahan dahsyat dalam kehidupan manusia sampai terjadi penjungkirbalikan nilai, namun nilai-nilai agama keilahian tidak akan pernah tergeser, karena standarnya tidak ditentukan oleh manusia dan dipengaruhi oleh perilaku manusia, standarnya jelas ditetapkan oleh Tuhan dan Tuhan kelak yang akan memperhitungkan tanpa ada yang bisa berlaku curang.

Pertanyaannya adalah, bagaimana ukuran kemuliaan dan kehormatan dalam agama? Nabi diutus ke alam raya sebagai teladan yang menyempurnakan akhlaq manusia. 

Artinya nilai kemualiaan mesti diukur dari seberapa baik akhlaq seseorang. Akhlaq dalam konteks perilaku merupakan out put dari seberapa dalam dan matangnya pemahaman seseorang. Akhlaq sendiri memiliki tiga dimensi, akhlaq kepada diri sendiri, akhlaq kepada orang lain atau lingkungan, dan akhlaq kepada Allah.

Pertama, akhlaq kepada diri sendiri. Ada sebuah dalil yang sangat populer, "barang siapa mengenal dan memahami dirinya, maka dia akan mengenal atau memahami Rabb-nya". 

Dari sini tampak bahwa manusia selalu dituntut untuk tanpa henti belajar memahami dirinya untuk bisa mencapai Allah. Dari sini sebenarnya, akhlaq kepada diri sendiri adalah jalan menuju capaian puncak akhlaq kepada Allah. Karena diri ini adalah jalan menuju Allah.

Kedua, akhlaq kepada orang lain atau lingkungan. Akhlaq, sekali lagi pada dasarnya adalah out put dari tingkat pemahaman manusia tentang kehidupan. Semakin dia memahami makna hidup dia akan menjadi manusia yang berakhlaq baik dan bijaksana. 

Namun jika dia memiliki pikiran picik pada hidup, maka akhlaq yang keluar dan ditampilkan juga bersifat kasar. Akhlaq kepada manusia lain dan lingkungan adalah puncak akhlaq, ketika Allah sendiri pernah menyampaikan dalam sebuah kalimat yang sangat indah, "layanilah Aku dengan melayani orang-orang lemah". Dengan melayani dan berakhlaq kepada orang lain sebaik mungkin, itu berarti adalah pula kita berakhlaq kepada Allah sekaligus. 

Nabi juga pernah menyatakan "sebaik-baiknya manusia itu adalah yang paling bermanfaat kepada Manusia lainnya". Dengan demikian maka tampak bahwa rumus akhlaq yang kedua ini adalah, sejauh mana dapat kita orientasikan perilaku kita demi kebaikan banyak orang dan lingkungan, maka semakin tinggi kualitas kemuliaan kita.

Ketiga, akhlaq kepada Allah SWT. Saya mencoba untuk membatasi pada bagian ini akhlaq khusus berupa keintiman seorang manusia dengan Tuhannya. Jika berkomunikasi dengan manusia saja membutuhkan akhlaq sebaik-baiknya, bagaimana pula komunikasi dengan Tuhan? 

Puncak akhlaq kepada Allah adalah ada pada konsep ihsan, yaitu berhamba kepada Allah dalam penuh kesadaran bahwa Allah selalu ada bersama dirinya, jika tidak mampu sampai demikian, maka harus diyakini secara penuh Allah akan selalu senantiasa Ada dan pasti memperhatikan perilaku kita. 

Sehingga tidak ada waktu untuk tidak berakhlaq kepada Allah. Jangan sampai kita mengabaikannya, dalam keadaan apapun! Allah juga menyebut bahwa seorang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.

Pada akhirnya, kita memiliki tiga koordinat untuk bisa menjadi spot capaian kemuliaan diri. Dalam konteks diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta dalam konteks hubungan manusia dan Tuhannya. Rangkuman ketiga koordinat ini dirangkum dalam ayat terakhir surat Al Kahfi. 

"Maka barang siapa yang menginginkan untuk dapat bersua dan bersitatap dengan Tuhannya, maka beramal-lah yang saleh dan jangan sekali-kali engkau menyekutukan Tuhan, dengan apapun saja!" Hanya orang yang dimuliakan Allah sajalah yang akan disandingkan dengan Beliau. 

Bekal yang harus dibawa selain keimanan juga Amal atau perbuatan saleh itu berarti amal yang tepat, yang berarti juga benar, baik dan indah, dalam segala konteks kehidupannya. Syarif_Enha@Nitikan, 31 Juli 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun