Hai teman-teman semua,
Dalam dunia yang kian dipenuhi pencitraan, manusia perlahan menjelma menjadi aktor berjalan di antara panggung sosial, akademis, dan profesional dengan wajah yang bukan miliknya. Kejujuran menjadi barang mewah, sementara kepura-puraan dijadikan norma. Kita belajar untuk diterima, bukan untuk memahami. Kita bersosialisasi bukan untuk terhubung secara batin, melainkan agar tetap relevan di mata sesama.
Hari demi hari, kita dipaksa tumbuh dalam sistem yang menghargai penampilan lebih dari perasaan. Kita terbiasa mengorbankan emosi demi validasi, menjadikan status lebih penting daripada makna hubungan antar manusia. Maka, muncullah ironi: semakin banyak yang kita kenal, semakin sedikit yang benar-benar mengenal kita.
Dari kegelisahan itu, puisi ini lahir sebuah refleksi tentang bagaimana hidup sering kali hanyalah kumpulan sandiwara kecil yang dilakoni tanpa akhir. Semoga ini bisa menjadi ruang hening sejenak bagi siapa pun yang mulai lelah pura-pura.
"Tempat Kita Menyebutnya Hidup"
Setiap pagi adalah panggung,
di mana senyum palsu dirapikan serapi dasi,
kata-kata manis jadi mata uang sosial,
dan siapa yang pandai bersandiwara, dia yang dipuja.
Kita belajar bukan untuk tahu,
tapi untuk lulus,
berlomba menghafal kebohongan kurikulum
sambil menyingkirkan empati dari ruang kelas.
Teman hanya angka di daftar kehadiran,
atau nama yang disebut saat butuh tumpangan,
ikatan emosional kini terjerat formalitas
sekadar "teman satu jurusan", bukan jiwa yang bersentuhan.
Namun kita tetap tumbuh,
meski dalam kebisingan kepura-puraan ini,
karena hidup di sarang kemunafikan
mengajarkan satu hal: siapa dirimu saat tak ada yang melihatmu.
Ditulis oleh: Syarga Andhika
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI