Dakwah berasal dari kata da'a-yad'u yang berarti menyeru, memanggil, dan mengajak. Jika dihubungkan dengan kata Islam, maka dakwah Islam adalah menyeru, memanggil, dan mengajak manusia dengan (metode atau cara) penuh kedamaian, menuju kebaikan-kebaikan yang Allah perintahkan.
Dalam dakwah, perlu memperhatikan komponen-komponen penting, tidak hanya soal penampilan, Â muatan materinya, Â tetapi soal metode, cara, pola, dan retorika komunikasi dakwah yang relevan. Dan, yang paling penting adalah kejernihan niat, hati, akal, dan pikiran kita dalam mentransmisikan nilai-nilai dakwah Islam itu sendiri kepada masyarakat luas. Karena, seringkali kita mengalami disorientasi dan kehilangan makna dalam menyampaikan pesan-pesan agama.
Ketimpangan seringkali terjadi, misalnya: momentum maulid Nabi, yang dikampanyekan bukan sifat dan keteladanan Nabi yang memuliakan manusia. Tetapi justru kita menghadirkan caci maki, Â merendahkan, Â menghina, Â melecehkan, merusak harkat dan martabat manusia dihadapan jama'ah kita.
Kondisi demikian, tidak menunjukkan dakwah Islam yang damai, kalem, dan substansial. Tetapi, memancing emosi umat dalam menyikapi masalah di tengah masyarakat. Bahkan, tidak tanggung-tanggung begitu mudahnya kita mendiskreditkan saudara seiman, sebangsa, dan setanah air kita dengan label tidak pantas.
Adab berdakwah kadangkala dicampakkan, kita lebih memilih berapi-api, walaupun rasa persaudaraan, kemanusiaan, dan cinta kita terhadap sesama dikorbankan. Kita merasa mulia dengan merendahkan orang lain adalah salah satu buruknya retorika, metode, Â dan pola dakwah masa kini. Rasanya, caci maki menjadi trend para pendakwah yang belum bisa move on dari pembelahan (pro dan kontra) pemilu.
Dakwah Islam kita  terlalu berlebihan mengeksplor masalah politik. Sementara jiwa umat kering tanpa siraman dan sentuhan nilai profetik dan ilahiyat. Efeknya, masyarakat kita dipenuhi opini-opini sesat atas nama kebencian. Dan, mereka terseret pada rel yang keliru, tetapi mereka tidak menyadari.
Dakwah Islam, Â seharusnya mengasah kemampuan umat untuk meresapi nilai-nilai agama yang penuh cinta dan penuh kasih pada sesama manusia. Tetapi sekarang, kita memperhatikan mulai kehilangan ruh-Nya (Rahmatan Lil Alamiin), justru dipenuhi oleh nuansa dakwah yang tempramen, emosi, dan mudah menuduh fasik, munafik, dan kafir. Kita kehilangan esensi dakwah Islam yang sesungguhnya.
Memuliakan, mencintai, melindungi, mengayomi, mendamaikan, menjadi jalan tengah, lemah lembut, dan penuh kedamaian seolah hilang direduksi oleh arogansi.