Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... -

Aku Masih di Sini, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sawit Sebagai Wajah Kolonialisme Baru di Indonesia

24 September 2025   20:59 Diperbarui: 24 September 2025   20:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri kelapa sawit di Indonesia sesungguhnya punya akar panjang sejak masa kolonial. Pada tahun 1848, Belanda mendatangkan empat bibit kelapa sawit dari Mauritius dan Kebun Raya Amsterdam, lalu menanamnya di Kebun Raya Bogor. Awalnya sawit hanya sekadar tanaman hias dan penelitian, namun seiring waktu kolonial melihat potensinya sebagai komoditas bernilai tinggi. Perkebunan komersial pertama pun didirikan pada tahun 1911 di Deli, Sumatera Utara, menandai lahirnya industri sawit di Hindia Belanda (Pahan, 2012; Cramb & McCarthy, 2016).

Jika ditarik ke belakang, praktik ini sejatinya merupakan bagian dari pola kolonialisme yang sudah akrab di Nusantara. Pada abad ke-19, Belanda menerapkan Cultuurstelsel (Tanam Paksa), di mana rakyat dipaksa menanam kopi, tebu, nila, dan komoditas lain yang laku di pasar Eropa. Tanah dan tenaga kerja pribumi dieksploitasi demi mengisi kas kerajaan di negeri jauh sana, sementara rakyat lokal harus menanggung penderitaan dan hilangnya kedaulatan atas tanahnya sendiri.

Salah satu contoh yang bisa dilihat di Kalimantan Tengah, ketika ribuan hektar lahan adat Dayak tergusur demi konsesi sawit. Warga kehilangan hutan yang selama ini menjadi sumber pangan, obat, sekaligus ruang spiritual. Mereka "dipaksa" beralih menjadi buruh harian lepas di kebun sawit. Kasus serupa juga terjadi di Riau, di mana konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat adat terus berulang, bahkan sering berujung kriminalisasi warga yang mencoba mempertahankan tanahnya.

Meski demikian, di sisi lain, perkembangan kelapa sawit juga membawa keuntungan besar bagi Indonesia, khususnya dalam aspek ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam. Berdasarkan data Indonesia Investments (2024) Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen sawit terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 57--59 persen dari total produksi global. Pada tahun 2023 misalnya, dari 77,3 juta ton minyak sawit dunia, Indonesia menyumbang lebih dari 48 juta ton.

Besarnya produksi ini menjadikan sawit salah satu tulang punggung ekspor nasional, dengan nilai yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Sub-sektor perkebunan, termasuk sawit, bahkan menyumbang hampir 14 persen terhadap PDB nasional, dan mendorong pertumbuhan di berbagai sektor lain seperti perdagangan, transportasi, industri kimia, hingga jasa keuangan.

Dari sisi lingkungan, tanaman sawit sendiri memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida sekaligus menghasilkan oksigen, serta meningkatkan biomassa vegetasi dibandingkan lahan kosong. Artinya, meskipun tidak bisa menafikan konflik agraria dan kerusakan ekologi yang terjadi, potensi sawit dalam menopang ekonomi nasional sekaligus memberi kontribusi pada perbaikan lahan yang rusak juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, pertanyaan penting yang sering terlewat adalah; dengan semua keuntungan yang fantastis itu, bagaimana dengan nasib para pekerja sawit? Apakah industri ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi mereka yang berada di lapisan terbawah rantai produksi?

Seorang teman saya bernama Andi pernah bekerja di salah satu perusahaan sawit pada tahun 2019 di Kalimantan. Ceritanya membuat saya berpikir ulang tentang narasi "bekerja di perkebunan sawit menyejahterakan." Awalnya, ia mengira bekerja di perkebunan sawit akan mengubah nasib dirinya dan dapat membantu perekonomian keluarga. Namun kenyataannya, upah yang diterima jauh di bawah ekspektasi, sementara beban kerja terasa sangat berat.

Ia mengatakan bahwa "Setiap hari saya harus bekerja dari pagi hingga sore sambil memikul tandan sawit yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram. Ironisnya, meskipun industri sawit menghasilkan keuntungan yang lebih besar, gaji saya tidak di naikkan, hingga  masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup saya disana "gali lubang tutup lubang" setelah gaji habis di pake bayar utang seperti makan dan ngopi. Ujarnya"

Apalagi status pekerjaannya pun hanya sebagai buruh harian lepas, tanpa kontrak jangka panjang yang menjamin kepastian kerja. Tidak ada tunjangan kesehatan, tidak ada asuransi kecelakaan, bahkan keselamatan kerja kerap diabaikan. Ia pernah bercerita bahwa beberapa rekannya mengalami kecelakaan kerja karena tertimpa tandan sawit atau terluka saat panen, namun perusahaan enggan bertanggung jawab penuh.

Artinya, meskipun sawit menjelma menjadi "komoditas emas" bagi perekonomian nasional, bagi banyak buruh, yang mereka rasakan justru sebaliknya: mereka tetap berada dalam lingkaran kemiskinan struktural. Sawit memang mengisi kas negara dan menyehatkan neraca ekspor, tetapi tidak otomatis menyejahterakan para pekerja yang setiap hari bersentuhan langsung dengan pohon-pohon sawit.

Sepenggal pengalaman yang diceritakan Andi tentu bukan hanya cerita pribadi. Ia hanyalah satu wajah dari ribuan pekerja perkebunan sawit, khususnya para perantau yang datang dengan harapan besar namun sering kali pulang dengan tangan hampa. Laporan Sawit Watch (2022) misalnya, mencatat banyak buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera yang menghadapi kondisi kerja tidak layak, mulai dari upah minim, sistem kerja borongan yang menekan, hingga sulitnya akses terhadap jaminan sosial. Bahkan, sebuah investigasi BBC (2020) menemukan bahwa sebagian pekerja perempuan di perkebunan sawit kerap dipekerjakan tanpa kontrak jelas, dengan beban kerja berat namun upah yang tidak sepadan.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah; mengapa mereka bisa bertahan di tengah situasi yang begitu pelik? Jawabannya sederhana; Mereka bertahan bukan semata karena betah, melainkan karena pulang kampung pun bukan pilihan mudah. Lah, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah ngos-ngosan, apalagi harus menyiapkan ongkos pulang.

Mereka dulu berangkat dengan penuh harapan dan doa keluarga, katanya untuk bekerja, untuk mencari rezeki, bahkan untuk membanggakan orang tua. Masa iya pulang dengan tangan kosong.

Situasi ini membuat banyak pekerja yang keluar merantau bekerja di perkebunan sawit akhirnya memilih bertahan meski dengan segala keterbatasan. Mereka terjebak dalam lingkaran antara idealisme dan kenyataan hidup. Harapan untuk sejahtera yang dulu jadi alasan merantau perlahan bergeser menjadi sekadar bertahan agar bisa mengirim sedikit uang ke kampung. Bagi sebagian orang mungkin terdengar tragis, tapi bagi mereka, bertahan di tengah kerasnya perkebunan lebih masuk akal ketimbang pulang dengan wajah tertunduk (malu).

Uraian di atas dapat membuka mata kita bahwa perkebunan sawit tidak hanya soal pohon, minyak, dan angka-angka ekspor, melainkan juga kisah manusia yang hidup di dalamnya. Pola relasi yang terbentuk antara pemilik modal, perusahaan besar, dan para pekerja kerap kali menyerupai sistem lama yang diwariskan sejak masa kolonial. Bedanya, jika dulu perkebunan dijalankan oleh kekuasaan kolonial Eropa, kini wajahnya berganti menjadi korporasi transnasional dan elite lokal yang sama-sama menguasai tanah dan tenaga kerja.

Dalam perspektif teori dependency (ketergantungan) yang diperkenalkan Andre Gunder Frank, ekspansi sawit dapat dibaca sebagai bentuk keterikatan struktural negara-negara berkembang pada pasar global. Kekayaan alam Indonesia menjadi rantai pasok utama bagi pusat-pusat kapital di dunia, sementara masyarakat lokal justru terjebak dalam lingkaran eksploitasi yang sama sekali tidak mensejahterakan. Begitu pula dalam kerangka Michel Foucault, relasi kuasa tidak lagi hadir dalam bentuk dominasi militer, melainkan melalui regulasi, konsesi, dan kontrak yang melanggengkan kontrol atas tubuh dan tanah masyarakat adat.

Itulah mengapa, sawit bisa dipandang sebagai bentuk "kolonialisme baru"; tanah adat diambil alih, masyarakat lokal kehilangan ruang hidup, dan para buruh dipaksa tunduk pada sistem kerja yang menekan. Kolonialisme tidak lagi hadir melalui senjata dan kekuasaan politik, melainkan melalui kontrak, konsesi, dan janji kesejahteraan yang kerap berakhir sebagai utopia. Sawit menjadi simbol bagaimana eksploitasi bisa berganti rupa tanpa kehilangan esensi: menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi akumulasi keuntungan segelintir pihak.

Pada titik inilah, sawit menjadi simbol bagaimana eksploitasi bisa berganti rupa tanpa kehilangan esensinya: menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi akumulasi keuntungan segelintir pihak. Maka, pertanyaan kritis yang layak kita renungkan adalah: sampai kapan kita membiarkan tanah air sendiri menjadi "tanah jajahan baru" yang berwajah modern?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun