Mohon tunggu...
Ollenk Syamsuddin Radjab
Ollenk Syamsuddin Radjab Mohon Tunggu... social worker -

Seorang ayah, pernah aktif di bantuan hukum dan HAM, pemerhati Politik-Hukum Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Perbandingan RUU CSR Versi DPR dan DPD (2016)

24 Maret 2017   06:05 Diperbarui: 24 Maret 2017   18:00 2627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat ini, draft Rancangan Undang-Undang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau CSR sedang disusun dan dikonsultasikan kepada publik oleh DPR RI melalui Komisi VIII (RUU TJSP DPR, 2016) dan DPD RI melalui Komite III (RUU TJSL DPD, 2016) sebagai hak inisiatif dewan. Dalam penyusunan RUU CSR kedua lembaga Negara tersebut juga telah melakukan kunjungan keluar negeri seperti Negara Finlandia, Jerman, dan Perancis; kunjungan ke Pemerintah Provinsi/Daerah, Perusahaan atau ke pelbagai perguruan tinggi (Naskah Akademik RUU TJSL DPD, 2016).

RUU CSR meneguhkan untuk mengahkiri perdebatan konsepsional-paradigmatik dari kesukarelaan (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory) yang mengikat semua perusahaan untuk melaksanakan kewajiban CSR terhadap masyarakat sekitar operasional.

RUU CSR versi DPR terdiri dari 7 Bab dan 33 Pasal sedangkan RUU CSR versi DPD terdiri dari 14 bab dan 46 Pasal, sementara naskah akademik (NA) DPR hingga penulisan penelitian ini belum didapatkan padahal permohonan ke DPR telah disampaikan sejak bulan Janauari 2017, juga tidak bisa diakses melalui internet sedangkan naskah akademik RUU CSR versi DPD peneliti sudah menerimanya. Dari RUU CSR kedua lembaga tersebut dapat dibandingkan sebagai berikut:

  • Judul

RUU CSR DPR memberi judul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) sedangkan DPD berjudul Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). TJSP dapat dikatakan merupakan terjemahan langsung dari Corporate Social Responsibilitydan TJSL diambil dari Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kata “lingkungan” dalam Pasal 74 ditekankan karena terkait bidang usaha yang bergerak di industri eksploitasi sumber daya alam sehingga sangat berhubungan dengan aspek lingkungan. Pada penjelasan Pasal 74 kemudian memperluas tafsir usaha dibidang sumber daya alam menjadi dan termasuk “kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam”. Dengan ditambahkannya kata “berdampak” maka hampir semua jenis usaha berkaitan dengan sumber daya alam sehingga memperluas subjek hukumnya.

Jika RUU CSR dimaksudkan sebagai Undang-Undang untuk mengatur khusus (lex specialis)Tanggung Jawab Perusahaan sebagaimana semangat Pasal 74 UUPT dan konsep CSR secara global maka judul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan lebih tepat untuk menjangkau cakupan 7 (tujuh) subjek dalam ISO 26000 selain aspek lingkungan semata. Dalam naskah akademik DPD pun pada Bab I dan Bab II lebih banyak memakai istilah TJSP selain TJSL.     

  • Ruang Lingkup

Ruang Lingkup TJSP menurut DPR meliputi: Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi dan Pelaporan (RUU TJSP versi DPR, Pasal 5) sedangkan dalam Ruang Lingkup pengaturan TJSL DPD meliputi: Kewajiban, Jenis kegiatan, Sasaran, Pengelolaan, Tugas dan Wewenang Pemerintah, Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah, Partisipasi Masyarakat, Pendanaan, Penghargaan, dan Sanksi (Naskah Akademik RUU TJSL, 2016).

Jika dilihat ruang lingkup versi DPR berkesan dalam pembuatan program CSR diluar dari aspek pendanaan, pembentukan forum TJSP, dan penghargaan yang juga diatur dalam draft RUU tersebut. Yang menarik soal tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai pengelola TJSL (RUU TJSL DPD, Pasal 31) sehingga dapat mereduksi perusahaan dalam menjalankan kewajibannya. Demikian pula penyediaan alokasi anggaran oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugas pengelolaan TJSL sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b dan Pasal 33 ayat (2) huruf b.

  • Kewajiban CSR

Kewajiban pelaksanaan CSR RUU TJSP DPR hanya dibebankan kepada perusahaan saja bersinergi dengan perusahaan lain, pemerintah daerah serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan TJSP (Pasal 8). sementara RUU TJSL DPD, kewajibannya dilaksankan oleh Perseroan, BUMN, BUMD, CV, Firma, Yayasan dan Koperasi (Pasal 6).

Perluasan kewajiban dalam RUU TJSL versi DPD itu memunculkan masalah hukum, filosofi dan sosial karena badan hukum seperti yayasan telah diatur dalam UU tersendiri, yaitu UU No. 16 Tahun 2001, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian kembali berlaku setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan secara keseluruhan UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian terbaru karena bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong sebagai ciri khas koperasi melalui putusan MK No. 28/PUU-XI/2013.

Demikian pula dengan CV (Commanditaire Vennootschap) atau Persekutuan Komanditer dan Firma diatur dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Pasal 1131 KUHPerdata dan UU No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.

Perbedaan asas, maksud dan tujuan pendirian perusahaan dengan yayasan, CV, Firma dan koperasi berakibat pada tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda sehingga tidak dapat disamakan termasuk dalam pelaksanaan kewajiban CSR kendatipun bergerak didunia usaha. Kepemilikan aset paling sedikit Rp. 1 milyar dan karyawan paling sedikit 20 orang dalam naskah akademik tidak ditemukan dasar argumennya maupun dalam penjelasan RUU TJSL.

  • Sasaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun