Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Macetnya Mesin Kerja Negara

30 Juni 2020   15:00 Diperbarui: 30 Juni 2020   15:53 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hal tersebut menyebabkan, banyak pekerjaan menangani Krisis Covid 19 - pun hanya menjadi “bagian” pekerjaan rutin di Instansi /Kementerian/lembaga. Bagi banyak birokrasi "Covid 19" adalah  "sampingan dan perangkapan tugas yang bertambah" Banyak pejabat yang masih harus melaksanakan rutin tugas -tugas harian – ( termasuk Jubir Pemerintah dalam penanganan Covid 19) dan hanya menyisakan beberapa jam untuk Covid 19.

Tidak Fokus, Jadi Beban Tambahan, dengan kondisi Sarana, Kapasitas yang terbatas serta tidak ada “kompensasi tambahan” , inilah mungkin pangkal penyebab Kemacetan itu, yang menyebabkan Mesin Penggerak Pemerintah untuk Covid 19 – Macet – Atau berjalan pelan. 

Ibarat mobil lama dengan beban tambahan, yang membuat Supir harus lembur menanggung beban dengan rambu yang terbatas. Alih-alih bisa menginjak gas untuk cepat, justru lbih banyak remnya yang ditekan, juga lebih banyak istirahat. 

Kedua : Payung Hukum Kebijakan Operasional Penanganan Krisis

Tuti R (2020) , menyampaikan bahwa bagaimanapun Birokrasi dicirikan sebagai organisasi yang netral, obyektif, berdasar pada aturan-aturan dan menerapkan hierarki. Karakter tersebut melekat dengan tujuan supaya birokrasi agar pemerintah dapat bekerja mencapai efisiensi yang maksimal. Karakter ini menjadi karakter dari birokrasi di negara mana pun termasuk Indonesia.

Dalam konteks aturan ini, selain Perpu/UU yang mengatur Moneter dan Fiskal, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang ditandatangani pada 31 Maret 2020. (Tautan: https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176085/PP_Nomor_21_Tahun_2020.pdf). 

Dalam PP ini, yang dimaksud dengan PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19.‘’Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu,’’ bunyi Pasal 2 ayat (1) PP tersebut.

Dengan demikian dalam PP -PSBB ini, kebijakan operasionalnya memungkinkan tidak dalam satu garis karena kebijakan operasional diserahkan kepada kementerian/lembaga dan atau kebijakan kepala daerah masing-masing, dalam mengidentifikasikan krisis itu sendiri. 

Dampaknya? Identifikasi Krisis menjadi beragam , sehingga memberi dampak pada koordinasi karena dipenuhi beragam kepentingan. Kepentingan lembaga-/Instansi dan pemda masing-masing masing masing .

Kita lihat  :

  • Kemenkes membuat larangan transportasi Daring angkut penumpang - Kemenhub memperbolehkan – pemda ? campur-campur, dan ini terus berlaku juga dalam kebijakan New normal – Padahal Masyarakat hari ini melihat hanya satu Pemerintah Pimpinan Pak Jokowi.
  • Hampir semua Kementerian/lembaga membuat aturan penanganan  Covid 19,  dan banyak lagi aturan yang dibuat kementerian terkait PSBB. Kememsos, Kemen PPA, Polri . hal ini pada ujungnya akan menjadi “tugas” (atau beban) “beban pejabat di daerah” karena selain yang ada pasca Covid 19 , dan aturan lain yang tetap menjadi pedoman birokrasi untuk penyelenggaranya. Covid 19 dan Pasca Covid 19.  Ini seperti munculnya diskusi berkepanjangan mengenai kartu Pra Kerja di era Covid 19.

Kebijakan Yang Tidak Fokus dan Beragam – ditambah masih berlakunya kebijakan/aturan lain sebelum Covid 19 yang menjadi pijakan, membuat Birokrasi tidak Fokus dan Apatis. LIPI (2020) melihat bahwa meskipun PSBB telah diberlakukan, penerapan strategi manajemen krisis yang dilakukan pemerintah dalam penanganan COVID-19 dapat dikatakan kurang efektif. 

Hal ini terlihat dari masih banyaknya kontroversi yang terjadi baik antara pemangku kepentingan maupun publik akibat penerapan berbagai kebijakan yang beragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun