Celakanya, orang-orang yang tertular HIV tidak semerta menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS yaitu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Tapi, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tanpa gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS bisa menularkan HIV ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
"Situasi ini semakin menguatirkan dengan ditemukannya 379 kasus HIV pada ibu hamil pada tahun 2024, hal ini berakibat terdapat 855 kasus HIV pada anak usia 0-19 tahun pada tahun 2024," Jelas Iwan Amintrapadja, Koordinator ALTRAS Jabar, Iwan S Amintrapadja.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi atau dilaporkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Nah, Sdr Iwan rupanya tidak perhatikan langkah pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, yang hanya mewajibkan ibu hamil tes HIV, tapi tidak melakukan tes HIV terhadap suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif.
Itu artinya pemerintah membiarkan suami-suami ibu hamil yang HIV-positif menyebarakan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (lihat matriks penyebaran HIV/AIDS jika suami ibu hamil tidak jalani tes HIV).
Yang lebih konyol lagi sosialisasi dan edukasi terkait dengan HIV/AIDS justru perempuan yang jadi sasaran, padahal yang menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki.
Baca juga: Salah Sasaran Edukasi Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bekasi (Kompasiana, 9 Mei 2025)