Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mungkin Anda Punya Jawaban

28 Januari 2018   00:46 Diperbarui: 28 Januari 2018   01:49 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: http://www.gulalives.co/perbedaan-pendidikan-dulu-dan-sekarang/

SAYA merasa kebijakan pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan. Saya tidak benar-benar mengerti, tapi mungkin Anda memiliki jawaban tersendiri. Sebaiknya Anda baca tulisan ini sampai tuntas agar Anda tidak salah paham.

Semester kedua tahun 2017 yang lalu, saya bertemu salah seorang pejabat Dinas Pendidikan Jawa Timur. Dalam sebuah ruangan, beliau menyampaikan bahwa hanya 30 persen lulusan SMA atau sederajat di Jawa Timur yang melanjutkan pendidikan ke perguran tinggi. Lantas ke mana 70 persen sisanya? Tentu Anda bisa menebak sendiri.

Siapakah 30 persen tersebut? Saya rasa jawaban atas pertanyaan ini juga sangat penting. Setidaknya untuk memberikan gambaran yang gamblang bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang pandai dan/atau kaya.

Sejak tahun lalu, kebijakan SNMPTN berubah. Ada aturan yang menetapkan kuota SNMPTN berdasarkan akreditasi sekolah. Jika sekolah tersebut berakreditasi A maka sekolah tersebut hanya boleh mendaftarkan siswanya melalui SNMPTN sebanyak 50 persen. Jika akreditasi B, hanya boleh 30 persen. Jika akreditasi C, hanya boleh 20 persen.

Tentu Anda paham, 50, 30, atau 20 persen yang dipilih untuk mendaftar SNMPTN tersebut adalah yang terbaik seangkatan. Mereka yang memiliki nilai rapor bagus, akademik bagus, peringkat, dan sebagainya.

Sementara itu, bagaimana nasib sisanya, yaitu yang 50, 70, atau 80 persennya? Bagaimana nasib mereka? Kenapa kesempatan untuk ikut SNMPTN bagi mereka diamputasi sejak dini?

Ya, mereka tetap bisa ikut seleksi melalui jalur SBMPTN atau mandiri. Ikut SBMPTN juga tidak mudah. Soal-soal yang diberikan lebih sulit daripada soal Ujian Nasional. Artinya, lagi-lagi, hanya mereka yang berotak cemerlang yang memiliki peluang lebih besar untuk lolos.

Sedangkan jalur mandiri, biayanya teramat mahal. Biaya masuk saja sudah di atas sepuluh juta. Belum lagi biaya per semester yang terhitung cukup mencekik. Tentu Anda mengerti apa itu artinya. Betul, hanya orang-orang berduit yang mampu mengenyam pendidikan tinggi.

Saya tidak mau membahas bagaimana mereka yang berhasil masuk perguruan tinggi kemudian menjadi pengangguran. Sebab itu akan menjadi bahasan yang teramat panjang. Namun, saya ingin mengajak Anda merenung sejenak, betapa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi mereka yang pintar dan/atau kaya.

Coba kita renungkan secara mendalam, berarti sangat banyak generasi ini tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi akibat kurang pandai secara akademis atau akibat kondisi ekonominya kurang menguntungkan. Lantas bagaimana dengan nasib mereka?

Mereka masuk ke sektor-sektor informal. Banyak di antara mereka kerja di pertokoan, bidang-bidang kreatif, dan sebagainya. Sebagian mampu bertahan dan sukses. Sebagian gagal dan menganggur atau bahkan masuk ke dunia kriminal.

Beruntunglah bagi mereka yang sukses sehingga dapat membawa kehidupan ke dunia yang lebih baik. Tapi, seringkali ini dijadikan cerminan oleh sebagian orang untuk tidak melanjutkan pendidikan. Dalihnya: buat apa kuliah, toh si dia tidak kuliah juga bisa sukses kok.

Namun, amat memprihatinkan bagi mereka yang memilih jalur gelap. Akibat tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, ditambah labeling bahwa dirinya masuk pada kelompok bodoh, maka mereka memilih bergerombol dan masuk ruang-ruang kejahatan.

Kita bisa lihat perkembangan narkoba, pergaulan bebas, dan kejahatan-kejahatan lain yang ternyata banyak dilakukan oleh para pemuda. Ya, pemuda yang kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan diamputasi oleh strata akademik, yang menurut saya, kurang manusiawi.

Ini menjadi problem yang akan berbahaya di masa depan. Saya belum berbicara kualitas pendidikan Indonesia. Namun, sistem pemberian kesempatan yang diskriminatif ini sungguh akan menjadi bayang-bayang gelap. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadi api dalam sekam.

So, mari kita pecahkan permasalahan ini bersama-sama. Kita lakukan yang terbaik semampu kita untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Jumlah mereka yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang mampu mengenyam.

Dengan demikian, ini membutuhkan kerja ekstra. Kalau tidak, relakah kita hidup dalam lingkaran kebodohan. Relakah kita membiarkan bangsa dan negara ini hancur. Peduli adalah kata kunci yang harus dimiliki oleh semua pihak.

Surabaya, 27 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun