Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Dari Greenland

15 Oktober 2016   18:24 Diperbarui: 15 Oktober 2016   18:32 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar pukul 11 siang tak seberkas sinarpun yang mampu menerobos pemukiman kami. Sinar matahari adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kami, masyarakat pedalaman pulau Greenland. Di ujung belahan bumi bagian utara kami terbiasa menyambung nafas-nafas yang kian terburai oleh dingin pekatnya embun salju. Telah dua bulan ini sinar matahari tak lagi menerangi. Lapisan es di lautan antartika semakin tebal, itu artinya kami semakin kesulitan dalam mendeteksi keberadaan sekumpulan ikan hiu. 

Tapi tak apalah, persediaan dendeng burung yang kami simpan di bawah batuan es beberapa bulan yang lalu masih tersisa seperempatnya. Siang ini kami berencana memancing hiu, lapisan es setebal dua puluh senti coba kami pecahkan dengan tulang belulang ikan paus untuk membuat lubang tempat pancing dan umpan. Di tempat lain sekitar beberapa meter kami membuat lubang yang sama. Jika beruntung dalam hitungan jam biasanya kami sudah mendapatkan ikan hiu seberat rata-rata mencapai 45 hingga 50 kg. Sudah menjadi hal yang lumrah ketika mendapatkan ikan hiu maka lemak ikannya biasanya langsung disantap ditempat. Tentu bau amis akan menguar bagi yang tak biasa memakannya. 

Tapi pada kenyataannya memang mampu menghangatkan badan dan meningkatkan stamina. Satu ekor ikan hiu biasanya mampu dijadikan persediaan makanan sekitar tiga minggu lamanya. Bagian jerohan dibersihkan dan bagian yang lain dikering anginkan selama beberapa hari. Satu jam dua jam kami menunggu, tak lama setelah itu kami mendapati sebuah pertanda tarikan yang kian menggelinjang dari benang pancing yang kami pasang. Dengan perlahan dan sekuat tenaga kami menariknya dengan sesekali menarik nafas dengan pelan. Rupanya seekor hiu berukuran sedang yang terperangkap. Lumayan untuk diawetkan beberapa hari kedepan.  Di pulau greenland tak banyak dijumpai pepohonan. 

Yang ada hanya padang savana dan dataran yang penuh lapisan salju tebal setebal mata kaki orang dewasa. Kayu bakar di greenland menjadi barang mewah, maka tak ayal kamipun membiasakan makan makanan yang diawetkan dalam balok-balok es seperti daging rusa, ikan hiu, ikan paus dan burung pipit yang lebih mirip burung walet tetapi ukurannya jauh lebih besar. Bagi penduduk lokal daging yang diawetkan akan terasa gurih meski ttanpa dimasak terlebih dahulu. Bagi kami para pelancong menganggapnya sebagai daging mentah tapi sama sekali tak tercium bau anyir maupun amis. Dalam mengawetkan daging ternyata telah dicampur dengan rempah-rempah. Burung-burung itu biasanya kami dapatkan dari pintu lorong-lorong gua batuan karst yang ditangkap sedemikian rupa menggunakan jaring. Lima bulan dalam satu tahun biasanya perkampungan kami tanpa mendapatkan sinar matahari sepercikpun. Setelah lima bulan berlalu mulai memasuki musim semi dengan bertabur bunga-bunga rumputan perdu disepanjang pinggir jalan.

Sebenarnya rumah tempat kami berpijak adalah lautan, hanya saja telah membeku selama bertahun-tahun. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tak di inginkan, kebanyakan material bahan bangunan yang dipakai berasal dari kayu seluruhnya. Jika memasuki musim berburu kami mengandalkan empat ekor anjing kutub sebagai penarik gerobak atau mencakup keseluruhan transportasi darat. Apabila kami melakukan perjalanan jauh sudah barang tentu kami menggunakannya untuk mengurangi beban perlengkapan memasak dan berkemah. Pada hari-hari tertentu saat badai salju dan minus beberapa derajat kami sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun kecuali mencairkan es untuk memasak dan mandi. Selebihnya dalam jangka waktu dua hingga tiga bulan kami tak keluar rumah.

Maka dari itu syukurilah hidupmu karena masih mampu menyambung nafas di negeri tropis. Di Indonesia yang kaya khasanah budaya dan pangan yang melimpah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun