"Saya dulu hanya bisa makan dari hasil kebun dan menjual ayam. Sekarang, saya bisa menyekolahkan anak dari hasil tenun."
Kalimat itu diucapkan oleh Ibu Mariana, seorang penenun dari Nagari Pandai Sikek Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Ia bukan pejabat, bukan sarjana, hanya seorang ibu rumah tangga di desa. Tapi ia telah membuktikan bahwa ekonomi kreatif bukanlah wacana elit kota, melainkan kenyataan yang mengubah hidup di pelosok negeri.
Desa dan Kemiskinan: Sebuah Potret Lama
Selama puluhan tahun, kemiskinan di pedesaan seakan menjadi kutukan struktural. Akses pendidikan rendah, infrastruktur minim, pilihan pekerjaan terbatas. Banyak yang akhirnya merantau ke kota, bekerja serabutan, atau menjadi buruh migran. Desa kehilangan tenaga produktif, dan yang tersisa hanya lansia serta anak-anak yang bergantung pada bantuan sosial.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, perlahan mulai muncul pola baru. Potensi lokal---termasuk kerajinan tradisional seperti tenun---menjadi sumber ekonomi alternatif. Inilah yang oleh para ekonom disebut sebagai bagian dari ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
Ekonomi Kreatif: Bukan Hanya Kota, Bukan Hanya Digital
Ketika kita bicara ekonomi kreatif, yang terbayang biasanya startup teknologi, aplikasi, atau konten media sosial. Padahal, sektor ekonomi kreatif jauh lebih luas. Dalam definisi resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ada 17 subsektor, dan salah satunya adalah kriya---yang mencakup kerajinan tangan seperti kain tenun.
Tenun tradisional bukan hanya produk estetika. Ia memiliki nilai ekonomi, sosial, dan budaya yang saling terkait. Dalam prosesnya, terlibat banyak pihak: dari petani kapas, perajin benang, pengumpul pewarna alami, hingga para penenun itu sendiri. Setiap helai kain adalah hasil kerja kolektif yang menciptakan rantai ekonomi lokal.
Studi Kasus: Kain Tenun sebagai Penopang Ekonomi Pedesaan
Di banyak wilayah Indonesia dari Timur---Flores, Sumba, Lembata, Alor--- sampai ke Barat -- Pandai Sikek, Silungkang, Halaban, Pelambang-- demikian juga dari utara sampai selatan-tenun bukan sekadar tradisi, melainkan penghidupan. Sejak adanya pelatihan, pengorganisasian komunitas, dan pendampingan akses pasar, pendapatan rumah tangga penenun meningkat signifikan.
Program seperti Rumah BUMN, koperasi perempuan, hingga digitalisasi UMKM lewat marketplace lokal, membuka jalan bagi para ibu rumah tangga di desa untuk menjual hasil tenunnya langsung ke konsumen di kota---bahkan mancanegara.
Di sini kita melihat pergeseran penting: dari ekonomi subsisten ke ekonomi kreatif berbasis nilai tambah.