Pernahkah Anda menatap sebuah layar ponsel, melihat foto sehelai kain tenun yang begitu memesona, lalu bertanya: siapa yang menenunnya? Di mana ia dibuat? Apakah ia sekadar produk atau warisan?
Itulah pertanyaan yang terus mengganggu benak saya setiap kali menjelajahi platform e-commerce lokal dan global. Songket Pandai Sikek---mahakarya tekstil Minangkabau yang sudah ada sejak zaman kerajaan---kini muncul di katalog digital, berdampingan dengan jaket kulit sintetis dan mug bertuliskan nama kota.
Tentu ini bisa dianggap sebagai kemajuan. Tapi benarkah e-commerce adalah solusi terbaik untuk memajukan produk tradisional seperti tenun Minangkabau, atau justru ia hanya menjadi etalase kosong tanpa pemaknaan budaya dan nilai ekonomi yang adil?
Ketika Songket Masuk Keranjang Belanja
Masuknya UMKM tradisional ke platform digital seperti Tokopedia, Shopee, hingga Etsy dan Amazon, kerap dirayakan sebagai lompatan besar dalam transformasi ekonomi. Pemerintah, platform, dan banyak pemangku kepentingan mendorong digitalisasi sebagai strategi pemasaran modern.
Songket Pandai Sikek, yang dulunya hanya dijual lewat pameran kerajinan, kini dapat dipesan dengan beberapa klik. Namun di balik kemudahan itu, muncul realitas baru: apakah perajin memahami algoritma pencarian? Apakah mereka bisa bersaing dengan toko dropshipper? Apakah harga yang mereka terima setimpal dengan nilai kultural dan kerja kerasnya?
Eksposur Tinggi, Margin Tipis
E-commerce memang memberi eksposur luas, tapi juga menciptakan medan persaingan yang brutal. Produk-produk tradisional yang dibuat secara manual dengan waktu berminggu-minggu, harus bersaing harga dengan produk cetak massal atau tiruan motif yang jauh lebih murah.
Akibatnya, UMKM sering terjebak dalam logika pasar digital: diskon besar, ongkir subsidi, deskripsi SEO-friendly, hingga foto profesional---semua itu menuntut biaya dan keterampilan yang tak semua perajin miliki. Tak jarang mereka harus bekerjasama dengan pihak ketiga yang mengambil porsi keuntungan besar.
Dalam banyak kasus, songket asli dari Pandai Sikek justru tak muncul di halaman pertama pencarian, tergeser oleh produk serupa dari luar Sumatera atau bahkan luar negeri, yang menjiplak desain namun tidak membawa nilai budaya.
Inovasi Struktural vs Inovasi Fungsional