Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Beyond Unicorns

31 Agustus 2025   10:48 Diperbarui: 31 Agustus 2025   10:48 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia mitologi startup, "unicorn" adalah segalanya---simbol kesuksesan, disruptor pasar, dan magnet investasi. Namun, makhluk mitos ini langka, dan seringkali hidup dalam dunianya sendiri. Pola pikir pencarian unicorn oleh Venture Capital (VC) telah menciptakan sebuah permainan berisiko tinggi: suntik dana besar-besaran (blitzscaling) untuk memenangkan pasar, seringkali dengan mengorbankan profitabilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Lalu, bagaimana dengan puluhan ribu startup lain yang ingin tumbuh sehat, melayani ceruk pasar yang spesifik, dan mencetak keuntungan yang solid? Mereka adalah "Zebra": nyata, tangguh, dan hidup dalam kawanan yang saling mendukung. Pertanyaannya, apakah ekosistem pendanaan kita sudah ramah bagi para Zebra ini?

Fenomena yang terjadi adalah bias pendanaan yang masif. Data menunjukkan bahwa mayoritas pendanaan VC Indonesia masih terpusat pada segelintir startup di sektor e-commerce, fintech, dan transportasi online yang mengejar model pertumbuhan blitzscaling. Model ini memprioritaskan ekspansi cepat dan akuisisi pengguna di atas segalanya, seringkali dengan membakar uang (cash-burning) melalui diskon besar-besaran dan iklan agresif. Alhasil, terciptalah "gelembung valuasi" yang terlepas dari fundamental ekonomi riil. Startup yang seharusnya menjadi pemecah masalah justru terjebak dalam siklus "fundraising cash burning fundraising lagi" untuk bertahan hidup.

Dampaknya adalah terabaikannya sektor-sektor yang memiliki dampak sosial-ekonomi besar tetapi tidak menjanjikan skala pertumbuhan eksponensial ala unicorn. Startup agritech, edutech untuk daerah rural, healthtech untuk puskesmas, atau cleantech untuk pengelolaan sampah---yang saya sebut sebagai "Impact Zebras"---kesulitan menarik minat investor VC konvensional. Mereka dianggap terlalu lambat, terlalu rumit, atau pasarnya dianggap "tidak cukup besar". Padahal, merekalah yang sesungguhnya memiliki backward dan forward linkage yang kuat dengan industri tradisional.

Teori Crossing the Chasm oleh Geoffrey Moore menjelaskan mengapa banyak perusahaan teknologi gagal beralih dari pasar early adopter ke pasar mainstream. "Impact Zebras" tidak hanya harus menyeberangi chasm ini, mereka juga harus membangun jalannya sendiri sambil membawa beban tambahan: mengedukasi pasar, membangun infrastruktur pendukung, dan seringkali berhadapan dengan regulasi yang belum matang. Risikonya (lebih tinggi), dan VC pada umumnya tidak dirancang untuk menanggung risiko jenis ini.

Analisis terhadap kegagalan pasar modal ini memunculkan tiga solusi alternatif. Pertama, mendorong lahirnya "Patient Capital" dan "Impact Investing". Kita membutuhkan investor yang tidak hanya mengejar Internal Rate of Return (IRR) finansial yang tinggi dalam waktu singkat, tetapi juga menghargai Social Return on Investment (SROI). Dana abadi (endowment fund) dari perusahaan, dana pensiun, atau dana keluarga (family office) dapat menjadi sumber "Patient Capital" yang lebih sabar dan selaras dengan visi jangka panjang "Zebra". Kedua, mengembangkan instrumen pendanaan hybrid. Gabungan antara equity dan debt, atau pendanaan berbasis hasil (revenue-based financing), dimana investor mendapatkan persentase dari pendapatan startup hingga mencapai kelipatan tertentu, bisa menjadi model yang lebih cocok bagi startup yang profitabel tetapi tumbuh secara organik. Ketiga, pemerintah harus menjadi "Anchor Investor". Melalui lembaga seperti LPEI (Indonesia Eximbank) atau SMK, pemerintah dapat menyediakan pendanaan awal atau penjaminan untuk startup yang bergerak di sektor-sektor strategis prioritas nasional. Ini akan menjadi sinyal kuat dan memicu kepercayaan investor swasta untuk turut serta.

Argumentasi bahwa ini akan mengganggu mekanisme pasar adalah keliru. Justru, ini adalah upaya untuk melengkapi dan memperbaiki kegagalan pasar (market failure) dalam mengalokasikan modal. Ekosistem yang sehat membutuhkan keanekaragaman, bukan hanya satu jenis spesies yang dominan.

Oleh karena itu, call for action-nya adalah: Marilah kita hentikan obsesi pada unicorn dan beralih kepada membangun kawanan zebra yang tangguh. Saatnya para pemodal, dari VC hingga perbankan, membangun lengan investasi khusus yang didedikasikan untuk mencari dan membesarkan "Impact Zebras" Indonesia. Kita perlu merayakan startup yang profitabel dan mendamaikan, bukan hanya yang besar dan disruptif. Dengan demikian, aliran modal tidak akan lagi menjadi bahan bakar "empty growth", tetapi menjadi pupuk penyubur bagi tumbuhnya ekonomi digital yang inklusif, berkelanjutan, dan benar-benar mencerminkan kekuatan bangsa kita yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun