Nada Sukarno: Dari Guntur ke Tenang
Yang juga menarik adalah cara Sukarno membacakan Proklamasi. Tidak dengan retorika membahana seperti dalam pidato 1 Juni. Suaranya tenang, nyaris datar. Tapi justru di situlah kekuatannya. Dalam pragmatik, ini disebut ilokusi kuat: ketegasan tanpa kebisingan.
Sukarno tahu: saat itu, rakyat tidak membutuhkan agitasi. Mereka butuh pengesahan. Dan itu diberikannya, tidak dengan teriakan, tapi dengan keteguhan dalam suara yang tak tergesa.
Refleksi Hari Ini: Apakah Kita Masih "Bangsa Indonesia"?
Delapan dekade setelah Proklamasi, teks ini tetap hidup --- atau setidaknya, seharusnya tetap hidup.
Tapi mari bertanya jujur: apakah kita masih "bangsa Indonesia" yang menyatakan kemerdekaan secara kolektif? Ataukah kita telah menjadi entitas yang tercerai oleh polarisasi, ego sektoral, dan identitas sempit?
Apakah kita masih menyelenggarakan pemindahan kekuasaan "dengan cara seksama"? Atau justru kita merayakan kekuasaan tanpa keseksamaan dan tanpa etika?
Teks Proklamasi, dalam kesederhanaannya, adalah cermin. Ia tidak menggurui. Ia hanya diam. Tapi dalam diamnya, ia bertanya.
Dari Kata, Lahir Republik
Sebagai pengkaji bahasa, saya percaya: Republik ini lahir dari kalimat. Dan kalimat itu tidak boleh menjadi artefak mati. Ia harus terus dibaca, ditafsir, bahkan dikritisi---agar maknanya tidak membeku menjadi slogan.
Di usia saya, saya semakin yakin: bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan dunia. Ia adalah alat untuk menciptakan dunia. Dan Sukarno, pada pagi 17 Agustus 1945, menciptakan dunia itu --- dengan 46 kata.