"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia..."
Dua kalimat. Empat puluh enam kata. Dan satu dunia yang berguncang.
Kata-kata yang Menciptakan Dunia
Pada pagi yang belum sepenuhnya terang, 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, sebuah teks pendek dibacakan tanpa upacara kenegaraan, tanpa mikrofon resmi, bahkan tanpa satu pun lambang negara. Namun dari teks yang terdiri dari dua kalimat itu, lahirlah Republik Indonesia.
Bagi sebagian orang, Proklamasi hanya bagian dari pelajaran sejarah --- dihafalkan, dibacakan ulang tiap tahun, kemudian dilupakan. Tapi bagi saya, sebagai seorang pengkaji bahasa dan semiotika, teks ini adalah artefak linguistik dan politik yang layak dibedah seperti puisi Chairil Anwar atau pidato Churchill. Ia tidak hanya menyatakan kemerdekaan; ia menyembunyikan pergulatan sejarah, dan mengandung makna yang masih hidup hingga hari ini.
Malam Sebelum Kemerdekaan: Perdebatan di Tengah Bayang Pendudukan
Kita tidak bisa memahami kedalaman makna teks Proklamasi tanpa kembali ke malam 16 Agustus 1945, ketika ketegangan mencapai puncaknya. Sehari sebelumnya, Sukarno dan Hatta "diculik" oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Tujuannya sederhana tapi mendesak: mendeklarasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.
Setelah perdebatan sengit, kedua tokoh ini kembali ke Jakarta dan menuju rumah Laksamana Maeda. Di situlah naskah Proklamasi mulai disusun --- bukan di istana, bukan oleh panitia resmi, tetapi di sebuah ruang tamu seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang diam-diam bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Para pemuda sempat mengusulkan naskah yang lebih keras: menyebut penjajahan Jepang, menggunakan istilah revolusi, dan menghapus nada kompromi. Tapi Sukarno dan Hatta berpikir jauh ke depan. Mereka memilih kata-kata yang tidak hanya kuat secara politis, tetapi taktis secara semiotik. Teks yang kita kenal hari ini adalah hasil kompromi antara semangat revolusi dan kalkulasi kebahasaan yang sangat presisi.
Analisis Linguistik: Kalimat yang Menyulap Realitas
Mari kita baca kembali kalimat pertama:
"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia."
Kalimat ini sederhana, tapi secara linguistik, ia adalah pernyataan performatif. Dalam teori speech act oleh John Austin, ini disebut tindak tutur deklaratif---bukan hanya menyampaikan sesuatu, tapi mengubah status realitas. Kata-kata ini tidak sekadar narasi; ia menciptakan negara.
Menariknya, subjek dalam kalimat ini bukan "kami para pemimpin" atau "kami Sukarno dan Hatta", tapi "kami bangsa Indonesia". Di sini, Sukarno menghilangkan egonya. Ia tidak bicara atas nama tokoh. Ia bicara atas nama rakyat. Pilihan ini bukan gaya. Ini adalah strategi representasi yang membangun legitimasi rakyat secara simbolik.
Kalimat kedua:
"Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."
Di sinilah letak ironi tersembunyi. Kalimat ini adalah pengakuan bahwa kemerdekaan adalah proses yang belum selesai. Kata "diselenggarakan" menunjukkan tindakan yang belum terjadi. Kalimat ini seperti ruang hampa yang menunggu diisi: oleh diplomasi, perundingan, bahkan perang.
Dalam semiotik, ini disebut "lukisan negatif"---ruang kosong yang justru bermakna. Sukarno tidak menjanjikan tuntasnya perjuangan; ia mengakui bahwa kita sedang memasuki ketidakpastian.
Diam yang Penuh Suara: Politik Penghapusan dalam Teks
Hal yang paling mencolok dari teks Proklamasi bukan hanya apa yang tertulis, tapi apa yang tidak tertulis.
Tidak ada penyebutan Jepang. Tidak ada celaan terhadap Belanda. Tidak ada simbol ideologi atau agama. Ini bukan karena lalai. Ini adalah bentuk penghapusan strategis. Sukarno dan Hatta tahu: menyebut Jepang berarti mengundang reaksi militer. Menyebut Belanda berarti memberi ruang kepada masa lalu dalam teks kelahiran bangsa.
Dalam dunia semiotik, ini disebut strategi keheningan (strategic silence). Ia adalah bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata, tetapi tetap menyampaikan makna.
Nada Sukarno: Dari Guntur ke Tenang
Yang juga menarik adalah cara Sukarno membacakan Proklamasi. Tidak dengan retorika membahana seperti dalam pidato 1 Juni. Suaranya tenang, nyaris datar. Tapi justru di situlah kekuatannya. Dalam pragmatik, ini disebut ilokusi kuat: ketegasan tanpa kebisingan.
Sukarno tahu: saat itu, rakyat tidak membutuhkan agitasi. Mereka butuh pengesahan. Dan itu diberikannya, tidak dengan teriakan, tapi dengan keteguhan dalam suara yang tak tergesa.
Refleksi Hari Ini: Apakah Kita Masih "Bangsa Indonesia"?
Delapan dekade setelah Proklamasi, teks ini tetap hidup --- atau setidaknya, seharusnya tetap hidup.
Tapi mari bertanya jujur: apakah kita masih "bangsa Indonesia" yang menyatakan kemerdekaan secara kolektif? Ataukah kita telah menjadi entitas yang tercerai oleh polarisasi, ego sektoral, dan identitas sempit?
Apakah kita masih menyelenggarakan pemindahan kekuasaan "dengan cara seksama"? Atau justru kita merayakan kekuasaan tanpa keseksamaan dan tanpa etika?
Teks Proklamasi, dalam kesederhanaannya, adalah cermin. Ia tidak menggurui. Ia hanya diam. Tapi dalam diamnya, ia bertanya.
Dari Kata, Lahir Republik
Sebagai pengkaji bahasa, saya percaya: Republik ini lahir dari kalimat. Dan kalimat itu tidak boleh menjadi artefak mati. Ia harus terus dibaca, ditafsir, bahkan dikritisi---agar maknanya tidak membeku menjadi slogan.
Di usia saya, saya semakin yakin: bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan dunia. Ia adalah alat untuk menciptakan dunia. Dan Sukarno, pada pagi 17 Agustus 1945, menciptakan dunia itu --- dengan 46 kata.
Jika hari ini kita merasa Indonesia sedang limbung, barangkali bukan karena kurang pembangunan, tetapi karena kita telah lupa membaca ulang makna Proklamasi. Dan melupakan makna adalah bentuk kemunduran yang lebih sunyi daripada kekalahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI