Dia memandangi saya sambil sedikit tertawa. Kerutan di sekitaran wajahnya nampak semakin jelas.
"Kenapa?" tanya saya.
"Bukan apa-apa," jawabnya.
"Lalu?"
"Saya masih mencintaimu. Tapi saya harus ke warung untuk membelikan suami saya rokok," jelasnya. "Kamu mau ikut?"
Saya menggeleng sambil tersenyum. Meski pada dasarnya saya juga masih mencintainya, tapi apa yang dapat saya tawarkan kepadanya selain kekecewaan? Jawabannya : tidak ada.
Sebagai seorang laki-laki yang selalu merasa miskin, saya tidak pernah nemiliki pilihan selain melepaskannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!