Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sepuluh Tahun Setelah Pergi ke Warung

11 Juni 2019   06:48 Diperbarui: 11 Juni 2019   21:05 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.peakpx.com

Sebagai seorang laki-laki yang miskin saya tidak punya pilihan lain selain meninggalkannya. Sejak kecil dia dan keluarganya sudah terlalu baik dengan saya dan ibu saya. Pikiran-pikiran semacam balas budi selalu berenang di kepala saya. Meski pada dasarnya saya juga mencintainya, tapi apa yang dapat saya tawarkan untuk membahagiakannya? Jawabannya: tidak ada.

Saya sering merasa bersalah tiap kali menatap matanya yang layu ketika ia memandang kepada sepasang kekasih yang sedang menikmati waktu berdua, tertawa gembira, hingga bertukar hadiah dalam merayakan ulang tahun hubungan (mungkin). Entah pacaran atau perkawinan. Saya lupa bertanya dan saya memang tidak ingin tahu urusan orang. Yang jelas mereka pasti dua orang yang menjadi pasangan.

Dia orang yang baik. Malah terlalu baik bagi saya. Bahkan sejak kecil, sejak kami masih duduk di sekolah dasar ketika dia membantu saya untuk membayar uang sekolah karena uang saya habis di toko mainan Bang Jawir yang cakap merayu bocah-bocah tolol macam saya. Gara-gara dia, uang sekolah saya habis buat dibelikan mobil-mobilan tamiya. Bang Jawir yang bangsat itu.

***

Hari ini dia sudah menunggu saya, berdiri di dekat jembatan sambil memetiki bunga-bunga yang saya tidak tahu milik siapa.

"Selamat siang," katanya, "cuacanya sedang panas."

Saya mengangguk, "Kamu tidak malu punya kekasih seperti saya?" tanya saya di sebuah siang yang terik, saya memang sering mengajaknya bertemu di jembatan ujung kampung ini. Hampir setiap sebulan sekali. Saya benar-benar tidak romantis. Lebih parah, saya jarang ada untuknya.

"Kenapa harus merasa malu?"

"Karena saya orang susah."

"Bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu berada di sisi saya, itu lebih dari cukup," dia membalas dengan jari-jarinya memegangi kelopak-kelopak bunga. Seolah-olah ingin melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah saya cukup layak untuk dicintai atau tidak.

"Sudah sepuluh tahun. Kamu tidak bosan dengan saya? Saya benar-benar tidak memiliki sisi romantis seperti laki-laki lain."

"Apa ada sesuatu yang membuatmu ragu pada saya?"

Pertanyaannya membuat saya bungkam sejenak. Saya pandangi aliran air sungai yang ada di bawah kami. Tapi saya tak menemukan kalimat yang tepat untuk pergi tanpa menyakiti perasaannya.

"Tidak. Tidak ada yang salah dengan air yang mengalir," jawab saya.

"Apa maksud kamu?" Dia bingung.

"Bukan apa-apa. Saya cinta kamu. Tapi saya harus pergi ke warung untuk membeli rokok."

"Sekarang?"

"Iya."

"Saya ikut kamu."

"Jangan. Kamu di sini saja. Saya cuma sebentar," ucap saya.

Sejak siang hari di jembatan itu saya sudah tidak pernah berjumpa dia lagi. Sehabis membeli rokok saya langsung berangkat ke tempat yang jauh di bagian utara, meninggalkan perempuan itu, meninggalkan kampung. 

Berbekal pakaian yang kumal dan persedian berbungkus-bungkus mi instan yang siap saya santap kapan pun saya lapar. Saya meninggalkannya di sana. Dengan perasaan sedikit bersalah. Tapi saya pikir, jika tanpa uang saya tidak mungkin bisa membahagiakannya. Saya akan mencari uang yang banyak. Membelikannya kalung. Membelikannya cincin. Membelikannya masa depan.

Saya tinggalkan sepucuk surat untuknya yang saya serahkan kepada ibu saya yang merangkak pikun. Saya tidak banyak permohonan. Saya hanya berharap dia mengerti.

***

Sepuluh tahun kemudian saya kembali sebagai orang kaya. Di pusat kota saya menemukan pekerjaan yang cocok untuk dilakukan oleh orang miskin. Setelah perjalanan yang panjang akhirnya saya bisa memiliki segalanya. Uang untuk membelikan dia apa saja. Hanya saja saya harus kehilangan satu ginjal saya. Di sisi lain saya merasa seperti sudah kehilangan semuanya. Ibu saya semakin tua, pikun dan ubanan.

Saya habiskan waktu dua hari untuk meluruskan kaki. Perjalanan yang panjang membuat kaki saya kesemutan. Sesudah itu saya kembali ke jembatan untuk menemuinya setelah sekian lama.

"Selamat sore," katanya, "cuacanya gerimis."

Saya tersenyum sedikit, "Kamu tentu sudah tidak malu punya kekasih macam saya, kan?" tanya saya di suatu sore yang mendung.

"Kenapa saya harus merasa tidak malu?"

"Karena saya bukan lagi orang susah."

"Sebenarnya bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu berada di sisi saya, itu sudah lebih dari cukup," balasnya. Jari-jarinya mengelupas kelopak-kelopak bunga. Melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah saya masih layak untuk dicintai atau tidak.

"Sudah dua puluh tahun. Kamu tidak bosan dengan saya, kan?"

"Dasar apa yang membuatmu berpikir demikian?" tanyanya.

Pertanyaannya membuat saya kembali bungkam sejenak. Saya pandangi lagi aliran air sungai yang ada di bawah kami.

"Karena air di sungai ini tidak pernah surut," jawab saya.

"Apa maksud kamu?" Dia masih bingung.

"Bukan apa-apa. Saya masih cinta kamu. Tapi saya harus pergi ke warung lagi untuk membeli rokok."

"Sekarang?"

"Iya. Kamu mau ikut saya?"

"Tidak. Saya akan di sini saja."

"Kenapa?"

"Saya sedang menunggu calon suami saya. Dia pergi ke warung untuk membeli rokok."

Sejak mengetahui dia sudah punya calon suami pada sore hari yang mendung di jembatan itu, saya tidak pernah berjumpa dia lagi. Sehabis membeli rokok di warung, saya kembali berangkat meninggalkan kampung. Saya tinggalkan sepucuk surat untuknya  yang saya serahkan pada ibu saya yang sudah pikun. Saya tidak banyak permohonan. Harapan saya masih sama; saya hanya berharap dia mengerti. Mungkin saya tidak akan kembali

***

Namun setelah sepuluh tahun berlalu. Saya kembali lagi ke kampung sebagai manusia miskin yang sudah ditumbuhi uban dan sangat kesepian. Ibu saya sudah tiada. Saya merasa benar-benar sudah kehilangan semuanya.

Saya habiskan waktu dua hari untuk menangis. Perjalanan yang panjang membuat mata saya kelilipan. Sesudah itu saya kembali ke jembatan itu lagi untuk menemuinya setelah sekian lama.

"Selamat senja," katanya, "cuacanya bagus."

Saya menggeleng, "Kamu tidak malu punya seorang kenalan seperti saya?" tanya saya ketika hari telah beringsut senja.

"Kenapa malu?"

"Karena saya benar-benar orang susah."

"Sejak awal bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu berada di sisi saya, sebenarnya itu jauh lebih dari cukup." Dia membalas. Jari-jarinya sudah tidak lagi memegang dan mengelupas kelopak-kelopak bunga.

"Sudah berpuluh-puluh tahun. Kamu tidak bosan mengenal orang seperti saya?"

"Kalau diingat-ingat, apakah saya pernah membuatmu ragu?"

Pertanyaannya membuat saya terdiam. Kembali saya pandangi aliran air sungai yang ada di bawah kami. Yang tidak pernah surut. Namun saya sadar, saya tidak pernah mampu menemukan kalimat yang tepat untuk menyatakan perasaan saya kepadanya.

"Tidak. Kamu tidak pernah membuat saya ragu. Keraguan itu datang dari dalam diri saya sendiri."

Dia memandangi saya sambil sedikit tertawa. Kerutan di sekitaran wajahnya nampak semakin jelas.

"Kenapa?" tanya saya.

"Bukan apa-apa," jawabnya.

"Lalu?"

"Saya masih mencintaimu. Tapi saya harus ke warung untuk membelikan suami saya rokok," jelasnya. "Kamu mau ikut?"

Saya menggeleng sambil tersenyum. Meski pada dasarnya saya juga masih mencintainya, tapi apa yang dapat saya tawarkan kepadanya selain kekecewaan? Jawabannya : tidak ada.

Sebagai seorang laki-laki yang selalu merasa miskin, saya tidak pernah nemiliki pilihan selain melepaskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun