Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ingatan yang Berpendar di Sela-sela Ranting Damar

23 Mei 2019   20:11 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:02 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay

Memang di usiaku yang sudah tak lagi muda, aku masih seperti dulu; berbelit, mudah putus asa, dan sering dihantui oleh perasaan-perasaan bersalah.

Keduanya masih beradu pandangan dengan wajah yang tegang. Sebelum akhirnya tangisan dari perempuan itu memecah suasana pinggiran kota yang ramai menjelang senja. Bukannya menenangkan, lelaki itu malah bergegas meninggalkan. Ia berjalan santai dengan tangan yang melambai-lambai. Sebuah taksi berwarna kuning singgah menghampirinya, membawanya pergi dan hilang tak terlihat lagi.

Perempuan itu menangis semakin kencang. Sebuah truk pengangkut lewat dan menyamarkan rintihannya dengan raungan. Aku masih memerhatikannya, sembari berpikir apa yang bisa dilakukan oleh lelaki yang hampir separuh baya sepertiku untuk meredakan tangisannya. Aku tidak mungkin memaki sebuah motor untuk membuatnya berhenti menangis, kan Lis? Karena dia bukan dirimu, dan memang tidak akan ada orang lain yang sepertimu.

Hampir sepuluh menit berlalu, dia masih menangis. Sementara orang-orang yang lewat di sekitarnya hanya melihatnya dengan tatapan yang bingung dan ragu. Aku mulai ingin beranjak dan menemuinya di seberang jalan. Berpikir keras untuk bisa menghiburnya. Mungkin dengan mengatakan bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Meskipun ini bukan kalimat milikku. Aku sering mendengar dan membaca kalimat itu saat menonton film dan membaca buku. 

Namun aku terlambat. Seperti kebiasaan-kebiasaan burukku yang kaubenci, Lis. Aku masih sering terlambat.

Aku terlambat. Aku melihat perempuan itu lebih dulu bergerak perlahan menuju ke tengah jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan, dengan air mata yang masih belum sempat diseka pada permukaan pipinya.

Dan kau pasti tahu betul apa yang terjadi selanjutnya. Dia ditabrak oleh salah satu dari rombongan truk pengangkut. Kepalanya pecah. Darah berhamburan di mana-mana, di moncong mobil, di dressnya yang berwarna merah muda, di bahu jalanan. 

Dia tewas seketika. Sang pengemudi truk histeris dan bingung harus bagaimana, aku terkesiap dengan mulut menganga dan perasaan tak percaya. Lalu lalang kendaraan terhenti sejenak. Beberapa orang yang sibuk dengan kepulangan dan sikap acuh perlahan memperlihatkan kepedulian.

Selang tak berapa lama suara sirine mobil polisi dan ambulan datang bersahut-sahutan. Lalu lintas macet karena jalur perjalanan dipersempit.

Senja telah gugur dan pendar-pendar cahaya di balik pohon damar yang masih ada telah hilang sepenuhnya. Aku masih terduduk dan tak berani mendekati tempat kejadian perkara.

Lis, ini bukan bagian terburuknya. Kau tahu, ini kedua kalinya aku menyaksikan seseorang tewas tepat di depan mataku, sementara aku selalu terlambat, tanpa bisa melakukan sesuatu. Aku selalu berharap bisa memutar waktu dan kembali ke beberapa menit sebelum kejadian itu. Sampai-sampai kecemasan dan perasaan bersalah tersebut menyasar ke dalam mimpiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun