Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ingatan yang Berpendar di Sela-sela Ranting Damar

23 Mei 2019   20:11 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:02 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay

Lis, aku menulis ini untukmu sewaktu sedang mengunyah kerupuk pedas yang kuminta dari anak kita. Mataku berair ketika kerupuk itu menyentuh bibir bagian atas kiriku yang sariawan.

Aku membenci sariawan. Sangat. Kurasa kau pun tahu itu ketika kita beristirahat di bawah pohon damar yang hingga kini sering kupandangi di seberang jalan sana. Tapi bila kupikir lagi, bukankah memang tidak ada manusia yang menyukai sariawan? Sakitnya membuat orang sulit mengunyah makanan. Aku tahu ini pengenalan cerita yang buruk, Lis. Tapi aku harap kau tetap mau membacanya. 

Tidak, tidak. Ini bukan tentang aku. Bukan tentang pria empat puluhan bodoh yang rutin mengamati kepergian senja hanya untuk merawat sebuah nostalgia. Yang keliru saat mengatakan padamu bahwa senja hari ini tidak akan membunuhku, atau membuatku merasa kosong saat menatapnya dari atas bangku sepanjang dua meter itu sendirian.

Tapi, ya.. Baiklah. Ini memang tentang aku, tapi tidak banyak. Karena pada dasarnya aku hanya ingin kau tahu apa yang kurasakan saat melihat seorang perempuan tewas di depan mataku, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya.

Empat hari yang lalu, saat senja perlahan gugur di belakang punggung sebuah pohon damar setinggi lima puluh meter, dengan batangnya yang silindris abu-abu kecokelatan, saat satu-satunya yang kupikirkan adalah bisa duduk berdua denganmu di atas kursi itu sambil memandang ke arah jalanan yang ia naungi, dan menemukan diri kita masing-masing sedang berteduh dari terik mentari yang dulu pernah mengancam kulit putihmu, juga rambut lurusmu yang sebahu. Aku masih bisa melihatmu, bahkan saat matahari telah redup dan hanya menyisakan cahaya jingga yang berpendar di sela-sela ranting pohon damar.

Bila kuputar memoriku sebentar, seingatku, sekitar dua puluh tahun yang lalu, jalanan itu masih berdebu dan berlubang, belum beraspal dan semulus sekarang. Kafe dan minimarket di seberang jalan itu juga belum di bangun. Hanya ada Warung Soto Mbok Jum dan Toko Kelontong Bang Jon, di mana aku pernah membelikanmu obat merah karena luka di lutut akibat jatuh dari motorku yang butut. Matamu sedikit basah waktu itu, aku tak ingin kau menangis. Lantas aku berpura-pura memarahi motorku, mengumpatnya dengan kata-kata kasar untuk menghiburmu. 

Dan kita tahu bagaimana akhirnya. Motorku mungkin merajuk. Mogok. Membuat kita berjalan beberapa langkah sebelum merasa lelah dan singgah di bawah naungan pohon damar yang dulu masih belum sebesar sekarang. Pohon damar yang hari itu kupandang. Tapi setidaknya aku berhasil, kau tak jadi menangis. Kau pukul pundakku. Malu. Kemudian kita bercerita banyak tentang sesuatu yang kausukai dan kaubenci di pertengahan hari yang terik. Aku juga. Termasuk tentang sariawan yang di atas tadi kutuliskan.

Lis,

Aku melihat sepasang muda-mudi keluar dari sebuah kafe, sekilas orang-orang di balik pintu kaca tempat itu juga memandangi mereka berdua dengan heran. Keduanya mengalihkan cukup banyak perhatian. Sementara di jalanan, suara mobil dan motor saling bersahutan. Roda-roda besi berlapis karet itu sedang berlalu lalang di bawah langit sore pukul lima lewat tiga puluh delapan. Aku pikir mereka sedang berada dalam sebuah pertengkaran.

Mereka saling memandang dengan raut yang menyimpan kekesalan. Gerak bibir keduanya gagal kubaca. Hanya terdengar gumaman yang menyela detik-detik tanpa klakson kendaraan. Aku berasumsi lelaki yang --aku akui-- cukup tampan tersebut merupakan kekasih dari perempuan itu. Perkiraan kedua, lelaki itu adalah saudara dari sang perempuan. Aku abaikan dugaan terakhir, bahwa lelaki itu merupakan ayah dari perempuan yang panjang rambutnya nyaris sepinggang. Karena mereka berdua memang terlihat masih sepantaran.

Sepuluh meter adalah jarak dari tempat dudukku dengan titik pertengkaran mereka. Dan, Lis, kau mungkin mulai bertanya-tanya di mana letak permasalahan yang ingin kusampaikan. Karena omong kosong yang kutuliskan sudah terlalu panjang.

Memang di usiaku yang sudah tak lagi muda, aku masih seperti dulu; berbelit, mudah putus asa, dan sering dihantui oleh perasaan-perasaan bersalah.

Keduanya masih beradu pandangan dengan wajah yang tegang. Sebelum akhirnya tangisan dari perempuan itu memecah suasana pinggiran kota yang ramai menjelang senja. Bukannya menenangkan, lelaki itu malah bergegas meninggalkan. Ia berjalan santai dengan tangan yang melambai-lambai. Sebuah taksi berwarna kuning singgah menghampirinya, membawanya pergi dan hilang tak terlihat lagi.

Perempuan itu menangis semakin kencang. Sebuah truk pengangkut lewat dan menyamarkan rintihannya dengan raungan. Aku masih memerhatikannya, sembari berpikir apa yang bisa dilakukan oleh lelaki yang hampir separuh baya sepertiku untuk meredakan tangisannya. Aku tidak mungkin memaki sebuah motor untuk membuatnya berhenti menangis, kan Lis? Karena dia bukan dirimu, dan memang tidak akan ada orang lain yang sepertimu.

Hampir sepuluh menit berlalu, dia masih menangis. Sementara orang-orang yang lewat di sekitarnya hanya melihatnya dengan tatapan yang bingung dan ragu. Aku mulai ingin beranjak dan menemuinya di seberang jalan. Berpikir keras untuk bisa menghiburnya. Mungkin dengan mengatakan bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Meskipun ini bukan kalimat milikku. Aku sering mendengar dan membaca kalimat itu saat menonton film dan membaca buku. 

Namun aku terlambat. Seperti kebiasaan-kebiasaan burukku yang kaubenci, Lis. Aku masih sering terlambat.

Aku terlambat. Aku melihat perempuan itu lebih dulu bergerak perlahan menuju ke tengah jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan, dengan air mata yang masih belum sempat diseka pada permukaan pipinya.

Dan kau pasti tahu betul apa yang terjadi selanjutnya. Dia ditabrak oleh salah satu dari rombongan truk pengangkut. Kepalanya pecah. Darah berhamburan di mana-mana, di moncong mobil, di dressnya yang berwarna merah muda, di bahu jalanan. 

Dia tewas seketika. Sang pengemudi truk histeris dan bingung harus bagaimana, aku terkesiap dengan mulut menganga dan perasaan tak percaya. Lalu lalang kendaraan terhenti sejenak. Beberapa orang yang sibuk dengan kepulangan dan sikap acuh perlahan memperlihatkan kepedulian.

Selang tak berapa lama suara sirine mobil polisi dan ambulan datang bersahut-sahutan. Lalu lintas macet karena jalur perjalanan dipersempit.

Senja telah gugur dan pendar-pendar cahaya di balik pohon damar yang masih ada telah hilang sepenuhnya. Aku masih terduduk dan tak berani mendekati tempat kejadian perkara.

Lis, ini bukan bagian terburuknya. Kau tahu, ini kedua kalinya aku menyaksikan seseorang tewas tepat di depan mataku, sementara aku selalu terlambat, tanpa bisa melakukan sesuatu. Aku selalu berharap bisa memutar waktu dan kembali ke beberapa menit sebelum kejadian itu. Sampai-sampai kecemasan dan perasaan bersalah tersebut menyasar ke dalam mimpiku.

Dalam mimpiku dua malam yang lalu, aku melihat perempuan itu. Lengkap dengan rambut lurus panjangnya yang sepinggang, dengan dress merah mudanya yang masih bersih, dan tentu saja dengan lelakinya yang brengsek. Kejadiannya sama persis dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Tetapi, dalam mimpi itu aku segera beranjak dari kursi dan memukul lelaki itu hingga mimisan dan pingsan.

"Kau selamat," kataku, sambil menarik tangan kanannya. 

Dia bingung, melepaskan genggaman tanganku, lari ke tengah jalan raya dan kembali ditabrak oleh sebuah mobil hingga tewas. Aku langsung terbangun dengan nafas yang terengah-engah.

Dan ini tak cuma terjadi satu kali. Tadi malam, aku kembali memimpikan perempuan itu, masih dengan rambut lurus panjangnya yang sepinggang, dress merah mudanya, bersama kekasihnya yang tentu saja juga masih brengsek.

Pada mimpi kedua, aku kembali memukul kekasihnya hingga pingsan. Aku menggenggam tangannya erat-erat sembari berkata, "Kau selamat."

Dia masih bingung dan berusaha untuk melepaskan genggaman tanganku. Tapi kali itu berbeda. Aku memegang tangannya sekuat tenaga. Kami berjalan beberapa langkah, melewati pohon damar yang tua, namun dia diam tanpa suara.

Aku ajak dia berhenti sejenak, untuk memulai pembicaraan dan menjelaskan apa yang terjadi andai aku tak memukul kekasihnya. Tetapi tiba-tiba sebuah truk pengangkut oleng, menabrak bahu jalan, menabrak kami berdua. Aku langsung terbangun dan menyadari bahwa itu hanyalah kelanjutan dari mimpi buruk yang malam sebelumnya juga kualami.

Dan, Lis.

Hari ini, aku jadi semakin mengerti bagaimana kematian telah ditentukan oleh Tuhan, dan aku tidak mungkin bisa mengubahnya. Aku juga tak bisa memutar waktu untuk memperbaiki segalanya. Aku hanyalah manusia yang terlalu banyak kekurangan, yang kemampuan terakhirnya cuma sebatas merawat ingatan.

Dan betapa aku yang  ganjil ini seharusnya merasa sangat beruntung karena pernah kau genapi. Atas dasar ketidakberdayaanku, keterlambatanku, dan betapa mudah putus asanya aku. Di samping semua kelemahan itu, aku ingin selalu merasa bahagia karena pernah ditemukan olehmu.

Aku menangis, Lis. Bukan karena sariawan. Tapi karena aku terlalu merindukanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun