Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Penyesalan dalam Sebuah Botol

22 Juni 2019   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2019   18:30 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Air Mancur Mingguraya (dokpri)

Seorang perempuan yang tidak terlalu cantik naik ke atas panggung. Namanya terdengar samar-samar karena riuh tepuk tangan juga suara lelaki empat puluhan yang sedang merayu gadis --atau mungkin janda-- penunggu warung kopi yang jaraknya hanya berkisar sebelas meter dari tempat duduk saya.

Perempuan di atas panggung itu mulai meraba larik demi larik dengan penghayatan yang seadanya dan mimik yang datar. Persis seperti saya ketika kamu meminta saya untuk membacakan sebuah puisi yang saya dapat dari internet.

Dia membacakan sebuah puisi tentang luka di perut bumi yang disebabkan oleh manusia hingga menyisakan penyesalan terhadap banyak bencana yang muncul sesudahnya.

Jadi, saya pun mulai mengira-ngira kalau penyesalan mungkin semacam menyerahkan uang duaribuan kepada tukang parkir yang  menghina motor saya. Lebih parah, penyesalan bisa berupa bayang-bayang  seorang perempuan yang berdiri menunggu saya di sepanjang trotoar sambil membuka lengan, namun saya malah menangis karena tidak memiliki tubuh untuk dipeluk.

Semua orang bertepuk tangan. Saya terdiam. Hening sejenak sebelum hati saya kembali mengajak untuk beranjak. Saya berada di sana tidak lebih dari tiga puluh menit. Saya kembali ke tempat parkiran motor dan memandang sinis pada tukang parkir yang pernah mencibir motor saya.

Setelah uang dua ribu saya berikan, saya meninggalkannya pulang tanpa sepatah kata. Membuat saya mengingat langkah paling gegabah saat mimilih untuk pamit dari hadapanmu. Hujan yang jatuh dari bawah keningmu, airmata yang seharusnya saya jumputi dan kembalikan. Sekarang saya menangis dan seharusnya kamu melihat semua ini.


"Kita impas!" barangkali begitu kata-katamu.

Di atas jok motor yang basah dan berlubang, saya kembali menelurkan persepsi-persepsi baru setelah melihat dua buah tiang listrik yang dihubungkan oleh banyak kabel, tetapi saling acuh, tidak saling bicara. Serta sebuah pohon yang saya tidak tahu jenisnya. Yang sedang kesepian di bawah sorot redup lampu jalanan.

Jadi, ini tentang bentuk penyesalan yang barangkali bermacam-macam. Mungkin mirip ketika saya memilih untuk meninggalkanmu, tapi tidak tahu harus bagaimana setelahnya. Lalu hari-hari saya hanya diisi oleh video motivasi seorang berkepala botak dari sebuah kanal Youtube. Juga ketika saya menengok ke arah ban belakang motor, dan bertanya-tanya kenapa bentuk ban tidak dibikin segitiga atau kotak. Saya membenci lingkaran atau bulat. Karena itu akan mengingatkan saya pada wajahmu.

Setelah pulang saya langsung berbaring di atas sebuah kasur yang menyiksa punggung saya karena kerasnya mirip jalanan yang barusan saya lalui. Kemudian saya baca lagi isi surat itu. Bertanggal 21 Desember dengan tahun yang saya rahasiakan. Ditulis untuk mengenang kita, dan dikubur di dekat pohon mahoni untuk melupakanmu. Tapi dibongkar kembali sebulan yang lalu, saat saya kebetulan membawa cangkul untuk mencari cacing.

Isi dari surat itu tidak penting. Hanya omong kosong saya, dari bagaimana bisa bertemu, satu tahun yang bahagia, hingga kenapa saya menyerah dan memilih untuk berpisah denganmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun