Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sebuah Usaha Memaknai Hidup

7 Mei 2019   08:21 Diperbarui: 8 Mei 2019   17:12 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by pexels

Ini kehidupan impian saya; punya istri cantik, seorang anak dan sebuah pekerjaan di kantor perpajakan. Tapi seperti dua sisi mata koin, kadang saya menyukai dan membencinya. Ada beberapa alasan yang saya rasa dapat saya jabarkan jika kelak ada seseorang yang bertanya kepada saya kenapa saya membenci hidup saya. Entahlah, orang kurang kerjaan macam apa yang mau menanyai saya pertanyaan semacam itu. 

Hari ini, Selasa. Dua orang datang ke meja saya dan melabrak tanpa penjelasan apa-apa, meminta saya untuk memperbaiki lembar-lembar laporan yang tidak saya kerjakan. Mungkin mereka mengira kalau saya ini operator warnet. Tapi operator warnet sekali pun tidak akan mampu membikin laporan serumit ini. 

Mentok-mentok cuma membuatkan makalah untuk anak-anak sekolah. Ujung-ujungnya, ternyata cuma salah paham. Kalau saja saya orang yang tidak makluman, mungkin sudah saya bius mereka berdua dengan aroma kaos kaki yang lupa saya cuci selama seminggu.

Tak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang menengok jam dinding ketika kedua jarumnya telah membentuk sudut 25 derajat, menunjuk angka 2 dan 12. Saya ingin segera pulang dan menghadapi masalah saya yang lain; omelan pedas istri saya, tagihan listrik, tunggakan arisan mingguan, uang sekolah anak dan jatah pengemis di depan gang yang seharusnya tidak saya pikirkan.

Saya lapar sekali. Pagi tadi istri saya bangun kesiangan dan terpaksa saya tidak sarapan. Cuaca sedang panas. Sementara lampu merah di depan tidak bergeming; hitung mundur otomatisnya rusak.

"Duh, cepetan dong! Panas nih!"

Seorang wanita berusia sekitar seperempat abad terkatung-katung di atas motor merahnya. Mengibas-ibas tangannya ke arah kepala yang ditutupi sebuah helm berwarna putih.  Saya memerhatikannya dan mengerti betul apa yang membuat sebagian besar wanita ogah untuk berpanas-panasan. Ya, itu akan membuat makeup mereka luntur. Saya serius. Wanita itu berbalik menatap saya dengan sinis. Saya segera berpaling sambil tertawa kecil di dalam hati.

Akhirnya. Lampu hijau. Seperti sebuah penantian panjang menuju kebahagian. Terasa lama sekali. Padahal hanya sekitar dua menit. Mungkin karena perut saya lapar. Atau mungkin karena cucuran keringat dari pori-pori dan sela-sela makeup wanita tadi. Astaga, Mbak. Mohon maafkan saya, saya memang suka begitu kalau sedang dihantui banyak beban pikiran.

Hampir sampai di pertigaan, di depan saya akan belok kanan. Lima meter sebelum berbelok saya menyalakan lampu sein. "Bruakkk!" tiba-tiba motor saya disenggol sebuah mobil yang melaju cukup cepat. Motor saya sempat berpindah posisi sekitar 70 senti. 

Tapi saya tidak terpental. Hanya terkejut. Beruntung, tapi sial. Saya mendengar seperti ada bagian dari motor saya yang patah atau  terlepas. Karena saya kira moncong mobil itu pastilah lebih kuat dari plastik murahan motor saya. Segera saya turunkan standar motor saya. Dan benar saja. Spakbor belakang motor saya pecah.

Dari jarak sekitar lima belas meter saya melihat supir dari mobil itu keluar.

"Woy bangsat! Kalau bawa motor yang bener dong! Tahu guna lampu sein nggak!?" dia memaki saya.

"Lho, Mas. Saya sudah nyalain sein ya. Mas aja yang bawa mobilnya kecepetan. Sampai-sampai saya yang udah belok masnya nggak liat."

"Alaahhhhh! Banyak cincong kau. Alasan saja!"

Kemudian pengemudi mobil yang kiranya berusia dua puluh limaan itu kembali masuk ke dalam mobilnya dan segera tancap gas. Meninggalkan saya yang termangu diam memandangi spakbor belakang yang remuk. Saya berusaha untuk mengingat-ingat lagi gurat wajahnya. Jika nanti ketemu dia lagi, akan saya babak habis mobilnya.

Mungkin cuma di negeri ini, yang salah malah yang tinggi suaranya.

"Aduh gusti. Keluar duit lagi."

Belum juga saya mau menyampari orang itu untuk meminta pertanggungjawaban. Dia malah tancap gas duluan. Ini bukan kesalahan saya kan? Toh saya sudah menyalakan lampu sein. Dianya saja yang ngebut. Mau bilang apa sama istri di rumah nanti? Kenapa tidak sekalian sama saya saja yang ditabrak?

Saya semakin putus asa. Dan asal kalian tahu. Ini bukan pertama kalinya saya merasa sesial ini. Belakangan saya baru tahu dari tetangga, kata mereka istri saya sekarang sering main mata dengan penjual sayur keliling yang menggunakan motor Kawasaki Ninja untuk jualan. Gila saja. Motor jualan sayurnya jauh lebih keren dari motor bebek yang mengantar saya dari satu titik ke titik lain setiap hari. Ah, kenapa saya malah fokus ke sana.

Belakangan juga, pemilik rumah kontrakan saya sering marah-marah karena saya belum membayar sewanya  selama dua bulan. Atau masalah anak laki-laki saya di sekolah. 

Dia baru kelas empat tapi sudah dicap sebagai anak nakal karena sering berulah dan berkelahi dengan teman sebayanya. Bahkan dua hari yang lalu dia meninju kakak kelasnya sampai mimisan. Dan ketika saya bertanya kenapa dia memukulnya. Jawabnya ringan sekali, "Karena wajahnya ngeselin." Saya tepok jidat dan menyerah atas kegagalan saya dalam mendidik anak. Padahal baru satu. Bagaimana kalau banyak?

Saya melanjutkan perjalanan yang sekiranya tujuh kilometer lagi untuk sampai ke rumah saya. Di bawah teduh pohon akasia saya memutuskan untuk beristirahat sembari memesan seporsi nasi goreng dari penjual yang baru sekali ini saya lihat berada di sini. Entah kenapa terasa ada yang aneh dengan hari ini. Sejak di lampu merah, suasana pinggiran kota ini senyap. Jalanan nampak lengang. Tapi saya abai saja. Saya sedang lapar-laparnya.

"Spesial satu bang."

"Injeh mas. Tunggu bentar ya."

Dari logatnya saya bisa menebak kalau abang yang jualan nasi goreng ini orang Jawa. Tapi entah kenapa wajahnya terasa tidak asing. Memandang beliau seperti terasa deja vu. Saya kesampingkan hal itu. Hampir lima menit berlalu, nasi goreng sudah siap dan saya terlalu lapar untuk menyantap.

"Ini mas e."

"Minumnya es teh aja bang."

"Siap."

Dua menit kemudian dia datang kembali dengan membawakan es teh saya. Di kursi sepanjang tiga meter itu dia ikut duduk. Tepat di sebelah kanan saya.

"Cuacanya panas banget ya mas?"

Saya terkejut. Logatnya mendadak berubah. Aksen Jawanya langsung hilang.

"Iya mas. Eh, bang." Jawab saya. Agak gugup.

"Kenapa mas? Kok kayak gugup gitu?"

"Nggak apa-apa kok bang. Ini keselek tadi." Elak saya.

"Tapi enak?"

"Apanya bang?"

"Keseleknya! Ya nasi gorengnya lah. Masa hidup kamu. Hahahaha."

Saya semakin terkejut. Menurut saya abang nasi goreng ini agak keterlaluan untuk seorang yang tidak mengenal saya, tapi malah berani melontarkan guyonan perihal hidup saya. Saya melepas piring yang ada di tangan saya. Menghentaknya sedikit keras di sampingnya, tepat di tengah-tengah posisi kami duduk.

"Maksud abang apa? Abang kenal saya? Kok sok akrab begitu. Pake acara nyinggung-nginggung hidup saya lagi."

"Kamu serius tidak ingat saya?"

"Hah? Apaan sih? Ketemu juga baru sekali. Abang baru jualan di sini juga kan."

"Saya tahu betul siapa kamu."

"Jangan bercanda sama saya bang. Suasana hati saya sedang tidak enak. Nanti piring ini melayang ke kepala abang." Ucap saya, semakin jengkel.

"Hahahaha. Saya tahu betul kalau kamu tidak memiliki keberanian untuk itu. Kamu itu penakut."

"Tambah kurang ajar orang ini."

"Bahkan saya tahu kalau kamu tidak pernah berkelahi sejak kelas empat SD. Kamu bahkan pernah dikalahkan oleh seorang anak perempuan dengan satu pukulan."

"Siapa sebenarnya kau ini bedebah? Mau main-main dengan saya?"

"Ironis sekali. Sementara anakmu sepertinya malah menjadi kebalikanmu. Hahaha."

"Cukup brengsek!"

"Bagaimana istrimu? Apa dia sungguh jatuh cinta dengan penjual sayur itu? Hahaha." Dia makin tertawa.

"Bangsat. Siapa sih sebenarnya kau ini?"

"Kamu tahu betul kalau aku tak perlu menjawabnya. Karena kamu sendiri sudah tahu jawabannya."

"Maksudmu apa?"

"Aku dua orang yang memakimu di kantor."

"Hahh??"

"Aku wanita yang kaulihat di lampu merah."

Aku semakin heran.

"Aku lelaki di dalam mobil yang menabrak motormu. Aku penjual sayur keliling yang disukai oleh istrimu. Aku juragan kontrakanmu. Aku istrimu. Aku anakmu"

"Maksudmu?'

"Aku adalah dirimu. Kamu adalah aku."

"Kau orang gila!"

"Bukan aku. Tapi kau. Kau yang memang gila. Dan kita hanyalah sekumpulan pribadi yang kau ciptakan sejak kau kehilangan istri dan anakmu. Ayolah. Kita sudah mengulangi ini setiap hari.

***
Di salah satu ruangan rumah sakit jiwa, seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan sedang menatap sendu ke arah mata anaknya yang memandang kepada kekosongan. Mengelus-elus rambutnya yang agak berantakan dan kusam. Seperti tidak pernah menggunakan shampoo selama berbulan-bulan atau bahkan mungkin bertahun-tahun.

"Ayo makan dulu." Dia mendekatkan sendok berisi bubur ke mulut anaknya yang sebenarnya sudah dewasa.

"Nggak mau!" Anaknya berpaling dan menutup mulut rapat-rapat.

"Jangan gitu, Nak. Kamu mau Rita sedih?"

"Rita, Ma?"

"Iya, kamu makan dulu. Nanti Rita sama anak kamu datang ke mari buat jenguk kamu."

"Beneran, Ma?"

"Iya."

"Asyiiikk!"

Ia makan dengan lahap. Di sisi lain, wanita itu berurai air mata sembari menyuapi anaknya. Bagaimana tidak, kembali, untuk kesekian kali dia harus membohongi anak semata wayangnya.

Tak lama setelah selesai makan, anak dari wanita  itu akan mengamuk dan bisa menghancurkan benda-benda apa saja yang ada di sekitarnya, atau melukai siapa saja yang ada di depannya. Dan kemudian dia menangis. Ibunya tahu, dia kehilangan.

***
It's my life
It's now or never
I ain't gonna live forever

Tepat pukul dua siang, alarm saya berbunyi. Sial. Rupanya saya ketiduran. Ternyata semua kegilaan dan kesedihan itu hanya mimpi. Tapi terasa nyata sekali. Yang benar saja, masa saya jadi orang gila. Tapi saya sampai meneteskan air mata. Sungguh, saya teringat ibu saya. Sudah lama saya tidak bertemu beliau.

Singkat cerita saya langsung menelepon beliau dan bertanya banyak hal serta menceritakan mimpi absurd yang baru saya alami.

Saya juga langsung teringat pada istri saya.

Pukul 14.30, saya pulang ke rumah. Melewati lampu merah, pertigaan, dan pohon akasia. Semuanya baik-baik saja. Sesampainya di rumah, istri saya menunggu di balik pintu. Saya langsung memeluknya dengan mata merah. Sejak itu juga saya berjanji untuk menjadi lelaki yang lebih bertanggung jawab, tidak mengeluh dan akan membahagiakannya, juga anak kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun